Jeslyn POV
Aku mengenal Byakta sejak sekolah menengah pertama dan kami berpacaran di kelas 11 SMA. 10 tahun menjadi kekasihnya membuatku mengetahui banyak hal tentang Byakta. Ekspresi wajah pria itu dapat dengan mudah kubaca.
Misalnya saat tadi siang, Byakta berlagak menjadi kurir pengantar makanan dari restorannya sendiri. Aku tahu dia akan mengajakku makan siang, tetapi rencananya berubah saat pria lain datang bersamaku. Byakta berbicara gugup, tetapi sorot mata tak fokusnya menunjukan rasa kecewa yang besar.
"Nggak! Lo nggak selingkuh! Lo udah lama putus sama Byakta. Sedangkan kenal Mas Shultan baru beberapa bulan lalu." Sedari siang aku terus merapalkan mantra seperti itu. Berkali-kali meyakinkan diri bahwa aku tidak selingkuh.
Krisis kepercayaan diriku memang sedikit terusik sejak setahun lalu.
"Lo gak perlu jelasin—eh, perlu! Byakta perlu tau--Nggak! buat apa Byakta tau?" Hati dan pikiranku terus bertolak belakang. Mereka berdebat tentang harus atau tidak aku memberikan penjelasan kepada pria yang kini sudah menjadi mantanku.
Ego berkata, jelaskan! Byakta harus tahu bahwa aku baru mengenal Mas Shultan. Namun, sisi lain dari pikiranku melarang, hubungan kami sudah berakhir.
"Aaaarrgggh!!" Kepalaku benar-benar ingin meledak. Entah sudah berbentuk seperti apa rambut yang sedari tadi aku acak-acak ini. "Oke, Jeslyn! Datengin unitnya, tapi bukan buat ngejelasin!" ucapku pada diri sendiri. Ini adalah keputusan terakhir yang aku pilih.
Setelah setengah jam berdiri di balik pintu unit apartemen, akhirnya aku mendapatkan jawaban yang harus dipilih. Aku akan mendatangi Byakta, tetapi bukan untuk menjelaskan tentang hubunganku dengan Mas Shultan. Aku hanya akan membayar dua paket makan siang yang ia kirimkan.
"Eh, tapi ...." Pergerakanku langsung terhenti. Pintu unit sudah terbuka, berbarengan dengan Byakta yang juga membuka pintu. Dengan canggung aku tersenyum, berbeda dengan pria itu yang hanya mengangguk dan berjalan keluar. Aku yakin ia akan menuju lift.
"Mau masuk?" tanya Byakta. Dari dalam lift ia menatapku dengan bingung. "Lantai berapa?"
"Sa-sama," jawabku yang tanpa kendali masuk ke dalam lift, aku bahkan tak sadar sudah mengikuti Byakta hingga ke sini. Suasana diantara kami berdua kembali hening. Ini lebih parah dari tadi pagi ketika Byakta memaksaku untuk mengantar ke tempat kerja.
"Kamu nggak akan keluar?" Pertanyaan dari Byakta membuatku kembali tersadar dari lamunan. Byakta sendiri kini sudah berjalan pergi menuju lobi apartemen. Sedangkan aku yang sebenarnya tak tahu akan kemana hanya berjalan mengikutinya.
"Pesanan atas nama Mas Akta?" panggil seorang driver ojek online langsung menyambut kami, lebih tepatnya menyambut Byakta. Rupanya pria ini mengambil makanan yang ia pesan. "Terimakasih, Mas, Mba."
Aku dengan canggung tersenyum kepada pria berjaket hijau itu dan membuat Byakta kembali menatap aneh padaku. "Pesen makanan juga?" tanyanya. "Udah sampe mana driver-nya?"
"Ya?" tanyaku tak fokus. Aku seperti korban yang baru sadar dari kejahatan hipnotis, sedari tadi tak bisa fokus. "Nggak, a-aku mau ke minimarket depan."
Aku bisa melihat tatapan Byakta yang menyelidik. Sepertinya pria itu masih ingat bahwa aku tak pernah berani pergi ke minimarket dekat apartemen di malam hari. Apalagi saat kondisi sekitar sedang sepi. "Oh, ayok bareng," ajaknya dengan santai berjalan lebih dulu. Sedangkan aku dengan cepat mengikuti dan tetap berada di dekatnya.
Jalanan benar-banar sepi, biasanaya ada beberapa pemuda tak ada kerjaan yang nongkrong di depan minimarket tersebut. Benar saja, tubuhku langsung gemetar saat kumpulan lelaki terlihat duduk di terotoar depan minimarket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemilik Ruang Kosong [SUDAH TERBIT]
Aktuelle Literatur10 tahun menjalin hubungan tentu saja bukan waktu yang singkat. Sudah ada tempat tersendiri untuk kisah khusus dengan orang tersebut. Hingga saat sang pemeran utama terpakasa pergi karena sudah tak lagi menjadi pasangan, tentu saja ruangan itu masih...