12. Obrolan Singkat dengan Mas Shultan

437 101 20
                                    

Byakta

"Hari ini sudah tidak ada jadwal lagi, kan?" tanyaku setelah keluar dari ruang pertemuan dengan perwakilan Goldplatte. "Semua keputusan akhir buat konsep Goldplatte segera kirim ke tim perencanaan di Bunaken." Aku masih terus memerintah kepada Shavana, sedangkan kakiku terus melangkah dengan cepat.

"Iya, hari ini udah nggak ada jadwal, kamu buru-buru banget."

Helaan napasku terdengar jelas, berusaha menahan diri untuk tidak emosi. "Segera kirim konsep akhir ke timnya Fajri dan pesan tiket ke Bunaken."

"Kamu mau ke Bunaken? Sekarang? Aku ikut?"

"LO! Lo yang ke Bunaken. Pantau langsung Resort di sana!" Suaraku terdengar membentak. Rasa sabar membiarkan tingkah Shavana yang semena-mena tak lagi bisa aku tahan.

Mata wanita dengan pakaian sangat ketat itu terlihat berkaca-kaca, tetapi aku tidak peduli. Biar saja wanita itu mendrama dan lapor kepada papanya.

Semenjak menceritakan kesalahan satu tahun lalu kepada Haider dan Alice, suasana hatiku benar-benar tidak stabil. Bayangan rasa kecewa Jeslyn saat itu terus mendominasi, membuat emosiku meluap kala Shavana si tersangka utama berlagak manja kepadaku.

"Saya masih ada urusan, kamu selesaikan sisanya, dan segera terbang ke Bunaken." Dengan cepat aku mengatur emosi agar lebih tenang. Mama tak pernah mengajari putranya membentak wanita. Sudah cukup dosa besarku kepada Jeslyn saat di tangga darurat tahun lalu.

Tak lagi mempedulikan Shavana, aku memilih untuk melangkah menuju jejeran kantor di lantai tiga restoran mewah ini.

The Goldplatte, Restoran bintang lima milik papanya Alice, Om Hendrico.

"Akta?" Suara wanita yang tak asing di telinga membuat aku berbalik. "Dari mana?"

"Abis meeting buat cabang di Bunaken, Tan," jawabku setelah mencium tangan wanita paruh baya yang tadi memanggilku. "Baru Akta mau ke ruangan Om Rico."

"Om lagi di kitchen, kamu sudah makan?"

"Tujuan Akta ke sini, kan, mau numpang makan, Tan." Aku menjawab pertanyaan tanteku dengan candaan.

Renina Wahyuni, adik papaku yang paling kecil, bunanya Alice. Aku cukup akrab dengannya.

"Kita makan di resto aja, yuk," ajak Tante Nina. "Tante bosen kalo makan di ruangan Om."

Niat awal untuk menenangkan diri di ruangan yang sunyi seketika sirna. Makan siang bersama Tante Nina jauh lebih menyenangkan dan membuat suasana hatiku membaik.

"Oh, ya. Kemarin malam kamu kumpul sama Haider dan Alice, ya?"

"Mereka dateng ke apartemen." Aku mengadu kepada Tante Nina. "Ngerusuh di sana."

Tawa kecil Tante Nina terdengar jelas olehku. "Ngomongin apa aja, tuh? Tante liat di story Instagram Haider, Alice cerita heboh banget."

"Ider update story?" tanyaku panik. "Di videonya ngomongin apa, Tan?"

Tante Nina mengedikkan bahunya. "Nggak ada suaranya, cuma ada caption alay."

"Ooh," gumamku berbarengan dengan helaan napas tenang. "Itu ngomongin tentang proses evolusi motor metik punya manusia purba.

Untung saja Haider mematikan suara di story-nya.

"Mau heran, tapi kamu sama adik-adikmu itu emang random." Tante Nina tentu saja sudah tak asing dengan tingkah anak dan para keponakannya. "Kamu mau pesen apa?"

Kami sudah tiba di lantai satu, tempat untuk restoran umum. "Apa aja, Tan. Yang penting nggak bayar."

"Mba, makanan sisa bawa kesini, ya," pesan Tante Nina kepada pelayan wanita yang sudah siap mencatat pesanan. "Makanan sisa aja, ya, Ta."

Aku melupakan fakta bahwa tanteku ini bibit kegilaan para keponakan. "Mba, Pizza Margherita satu," kataku memesan menu andalan yang selalu aku pesan saat ke sini.

"Pizza mulu, kamu, mah. Yang lain dong," komentar Tante Nina, sedangkan aku hanya menyengir saja. "Posh Pie satu. Minumnya air mineral 2, Mba."

"Loh, Akta mau Ice Americano," protesku kepada Tante Nina. "Mba Americano dingin satu."

"Kamu nggak makan makan berat?" tanya Tante Nina saat pelayan sudah pergi dari meja kami.

"Beban hidup udah berat, Tan." Jawaban asalku itu tentu saja mendapatkan pukulan. Kami asik bercengkrama, saling bertukar cerita, dan sesekali tertawa. Orang-orang yang tak tahu pasti mengira aku simpanan Tante Nina.

"Masih muda, sok-sokan punya beban hidup berat. Nikah aja belum, tanggungan baru diri kamu sendiri."

Aku tak membalas perkataan Tante Nina. Bukan karena tersinggung, tetapi fokusku sekarang sudah tertuju pada meja di bagian ujung kanan. "Kok kaya nggak asing, ya?" gumamku pelan. Mata sipit ini bahkan aku kerahkan semaksimal mungkin untuk mempertajam penglihatan.

"Kamu liat apa, sih, Ta?"

"Bentar, Tante. Akta lagi mikir," jawabku asal, sedangkan otak ini sudah bersusah payah untuk mencari sesuatu tentang kumpulan orang di sebrang sana. "Oh iya!" Dengan refleks aku memekik. "Mas Shultan."

"Mas Shultan? Siapa?" Pertanyaan Tante Nina tidak aku hiraukan. Fokusku masih pada meja panjang di ujung sana.

"Itu pertemuan keluarganya bukan, sih?" gumamku. Di meja ujung kanan sana, terdapat tiga pasangan, dua pasangan orang tua, dan satu lagi pasangan muda, mereka adalah Mas Shultan dan satu wanita yang tak aku kenali. "Ah, mungkin itu keluarganya."

"Kamu kenapa, sih, Ta? Kerasukan hantu Belanda?"

Aku hanya tersenyum saja, dan setelah itu kembali mengobrol dengan Tante Nina, mengalihkan fokus dari meja di ujung sana.

---

"Yang anter Jeslyn pulang waktu sakit, kan?"

Keran wastafel di samping menyala. Aku yakin pria berpakaian setelan jas formal itu berbicara kepadaku, tak ada manusia selain kami di toilet ini.

"Saya Shultan, spesialis penyakit dalam di Budi Asih."

"Byakta," jawabku singkat dan diakhiri dengan senyuman ramah kepadanya.

"Kenal Jeslyn dari kapan?"

"Sudah cukup lama," jawabku sebisa mungkin tetap santai, walaupun sebenarnya merasa risih akan pertanyaannya

"Temannya Jeslyn?" Shultan sepertinya bermaksud menginterogasiku.

Aku membuang tisu di tangan. "Bisa dibilang begitu." Aku berusaha mencari jawaban paling aman. Jangan sampai pria ini tahu tentang hubungan masa laluku dengan Jeslyn.

"Sedekat apa hingga antar Jeslyn ke apartemennya?"

Sejujurnya aku berusaha untuk tetap tenang, tetapi nada bicara pria di sampingku ini sangat menantang. "Sangat dekat," jawabku. "Jauh sebelum anda mengenal Jeslyn, saya sudah dekat dengannya."

"Sedekat apa?" Shultan mengulang kembali pertanyannya. "Sedekat apa hingga anda mengetahui banyak hal tentang Jeslyn?"

Senyuman miring terbit di bibirku. Niat untuk membantunya untuk dekat dengan Jeslyn seketika sirna, pria ini terlalu protektif, Jeslyn tak akan suka.

"Sudah saya bilang, sangat dekat. Saya tahu banyak hal tentang Jeslyn, makanan yang dia suka, hobi yang dilupakannya semenjak bekerja. Saya juga mengenal keluarga besarnya, Kakak laki-lakinya, Kakak perempuannya, dua keponakannya, bahkan supir pribadi keluarganya."

Tatapan mata tak suka aku terima darinya. Pria itu sudah tak lagi mencuci tangan, tetapi kami masih tetap berdiri di depan wastafel.

"Jika anda ingin mendekati Jeslyn, dekati saja dia, beri perhatian kepada dia," kataku dengan tatapan dingin kepada Shultan. "Saya beri tahu satu hal tentang Jeslyn. Dia menyukai pernyataan, bukan pertanyaan."

Tak lagi mempedulikan Shultan, aku segera keluar dari toilet. Suasana hatiku kembali menjadi buruk, bahkan otak ikut bersekongkol.

Apa pria bernama Shultan itu benar-benar pantas bersama Jeslyn?

Tbc

Pemilik Ruang Kosong [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang