10. Ikhlasnya Byakta

496 101 21
                                    

Byakta

"MANG ENDAAAAANG! damang?"

"Aiiih, Si Akta! Ti mana waeee, Ta?"

Mang Endang, penjual batagor langgananku sejak sekolah. Beliau berjualan di kawasan gelanggang olahraga yang tak jauh dari SMA-ku.

"Biasa wae, Mang."

"Neng Njeees, damang, Neng? Bu Dokter, yeuh." Kali ini Mang Endang menyapa Jeslyn. "Hoyong batagor atawa jajanan anu sanes?"

"Batagor hiji, Mang. Entong lada teuing," pesanku sembari mencomot pangsit goreng. "Lyn, mau batagor atau yang lain?"

"Aku mau Bilung, By," jawab Jeslyn yang sudah menuju kursi panjang. "Sama teh Poci."

"Makannya?"

"Minta punya kamu," jawab Jeslyn tanpa beban.

"Dua atau hiji, yeuh?" bisik Mang Endang yang paham akan kebiasaan Jeslyn. "Dua dihijikeun?"

"Biasa, Mang," balasku menyengir dan setelah itu menuju penjual bihun gulung di sebrang.

Parkiran gelanggang olahraga paling ujung memang menjadi tempat kuliner anadalan kami. Sejak sekolah aku dan Jeslyn selalu jajan di sini.

"Pak, bilung sama otak-otak. Sepuluh ribu, ya. Saosnya dipisah." Aku memesan jajanan yang Jeslyn ingin. "Saya tinggal dulu, Pak."

Selagi menunggu bihun gulung dibuat, aku memilih untuk memesan teh Poci. Sebuah efesiensi waktu ala Byakta Kenzie sejak SMA.

"Mba Poci cantiiik," panggilku dengan akrab. "Poci dua, yang satu campur Milo, ya."

"Siap, Bang Akta ganteng," balas penjual teh Poci, kami memang saling kenal. Maklum, aku sering hutang minuman di sini. "Perasaan makin ganteng aja, Bang."

"Oh, iya, dong. Perawatannya mahal," candaku dan setelah itu kami tertawa bersama.

"Kakak Cantiknya mana, Bang?"

"Tuh, lagi nunggu batagor," jawabku dengan dagu menunjuk sekilas kepada Jeslyn yang berada di bagian sebrang.

"Awet, ya, Bang. Kapan sebar undangan, nih?"

"Kapan-kapan, deh. Kalo nggak ujan, Mba." Aku menjawab dengan candaan, sedangkan wanita yang sedang memasukan es ke dalam gelas plastik itu hanya tertawa pelan.

"Cewek cantik jangan lama-lama dianggurin, Bang. Disalip orang, loh."

"Aseeek, dapet wejangan dari Mba teh Poci. Siap, laksanakan."

Beberapa pedagang lama tentu saja tahu tentang hubunganku dan Jeslyn. Dua anak baru gede yang selalu jajan saat pulang sekolah. Bahkan saat kuliah pun, kami sesekali mampir ke sini.

"Kenapa batagornya tinggal setengah?" protesku yang datang dengan plastik jajanan. "Kamu minta atau ngabisin?"

Jeslyn langsung memamerkan cengirannya. "Abis kamu lama," kata Jeslyn membela dirinya. "Ya udah aku makan sedikit-sedikit, sampe tinggal setengah."

"Nih, minum." Aku menyodorkan gelas plastik berisi teh Poci kepada Jeslyn. "Bilungnya makan."

Waktu belum menunjukkan jam makan siang, membuat parkiran GOR ini tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa anak sekolah yang jajan.

"Dokter anak, selalu ngingetin pasien biar gak jajan sembarangan--"

"Jangan banyak komentar!" potong Jeslyn cepat, membuat tawaku lepas seketika. Menggoda Jeslyn adalah agenda rutin saat bersamanya.

Pemilik Ruang Kosong [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang