05. Budi Asih

661 138 17
                                    

Byakta

Si Ider is calling ....

Ponselku terus berdering. Ini sudah lewat dari tengah malam. Pelaku utamanya hanya ada satu, Haider Khairo. Adik sepupuku yang paling banyak omong. Pria itu memang sering mengganggu mimpi indahku.

"Ider, sumpah kalo lo nelpon gue gara-gara mikirin jumlah populasi domba di Garut, gue jadiin lo Shaun The Sheep—"

"Kali ini serius! Lo ke rumah sakit sekarang, Bang! Adek gue masuk UGD—"

"LO ADA DI MANA?" Dengan panik aku menyela perkataan Haider.

"Budi Asih, ini Hyena harus dioperasi—"

"TUNGGU DISANA, GUE OTW SEKARANG!" Tak lagi perduli akan penjelasan Haider. Aku langsung beranjak dari posisi tidurku. Walaupun kesadaran di tubuh masih berceceran, bahkan mata sipitku terus berusaha untuk kembali terpejam.

Hyena Khannissa, adik sepupuku yang paling kecil. Sekarang ia duduk di bangku sekolah dasar, entah kelas berapa, aku lupa. Yang pasti aku ingat jelas bahwa bocah itu sangat mencintai makanan pedas, ia bahkan lebih kuat daripada kakaknya sendiri. Jadi, aku sedikit yakin bahwa bocah kecil itu sakit karena seblak pedas kesukaannya.

From: Si Ider
Di rumah sakit Budi Asih Dua, Bang. Kalo lo belum berangkat, bawain selimut sama bantal juga.

Dengan cepat aku melipat semilut yang kupakai. Tak perlu membawa bantal, di mobilku selalu ada bantal dan guling milik Jeslyn.

Hanya memakai celana bahan pendek dan kaus putih lusuh. Dengan cepat aku bergegas menuju rumah sakit yang Haider sebutkan. Untung saja jalanan tidak ramai, bahkan cenderung kosong. Membuatku bisa mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata dan tiba dalam waktu singkat.

"Sus, pasien atas nama Hyena Khannissa ada di mana ya?"

"Bang!" Suara Haider membuatku langsung menghampirinya, bahkan sebelum perawat di meja resepsionis unit gawat darurat memberi tahu keberadaan Hyena.

"Hyena ada di mana?" tanyaku panik. Berbeda dengan Haider yang terlihat sangat santai, tidak panik sama sekali. Manusia di hadapanku ini bahkan sudah mengambil alih bantal dan selimut di tanganku. "Buat Hyena?"

"Buat gue, lah!" jawab Haider yang sudah menyelimuti tubuhnya dan berjalan meninggalkanku. "Ngantuk gua, Bang. Dari sore Nana demam."

"Emak, Bapak lo di mana?" tanyaku. Kami berjalan menyusuri lorong. Sepertinya Haider membawaku menuju ruang tunggu untuk keluarga pasien yang sedang dioperasi.

"Masih ada di Brazil," jawab Haider yang sudah menjadikan beberapa kursi kosong sebagai tempat tidur. "Katanya, sih, udah ada di jalan. Tapi, nggak tau juga, gue nggak nanyain lagi." Haider benar-benar tidak mempedulikan tentang keberadaan orang tuanya.

Aku sendiri hanya mengangguk, om dan tanteku itu memang sangat sibuk. Pengusaha periklanan yang jasanya bahkan dipakai oleh beberapa majalah dunia.

"Bang, gue tidur dulu, ya," gumam Haider yang setelah itu sudah terlelap tidur. Pria itu bahkan terlihat nyenyak walau di atas kursi ruang tunggu, sedangkan aku yang kantuknya sudah hilang hanya diam melamun. Menunggu operasi Hyena selesai di sepertiga malam ini.

"Keluarga anak Hyena Khannissa."

Aku langsung beranjak dari posisi duduk, bergegas menuju seorang perawat dan dokter wanita yang keluar dari kamar operasi. "Ya, saya Kakaknya," jawabku dengan cepat. "Bagaimana kondisi—Lyn?" Pertanyaanku seketika berubah, aku baru menyadari bahwa dokter wanita di hadapanku ini adalah Jeslyn.

"Operasi berjalan lancar, Pak. Kondisi Hyena juga stabil, tinggal menunggu biusnya habis."

"Terimakasih, Dok," ucapku canggung. Berusaha berbicara dengan formal. Tentu saja formal, dia dokter adik sepupuku. Lagi pula semenjak kejadian makan malam di unit apartemenku kami tak pernah lagi berjumpa.

Pemilik Ruang Kosong [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang