03. Hari Setelah Lamaran

805 148 44
                                    

Byakta Pov

10 tahun bersama Jeslyn membuatku tak bisa begitu saja melepaskannya. Sudah cukup hhampa selama satu tahun ini, anggap itu adalah hukuman untukku, hukuman yang sangat berat. Aku juga sudah memberi waktu untuk Jeslyn, membiarkannya sendiri dan menenangkan diri. Sekarang, waktunya kami memperbaiki kesalahan yang sudah lama diabaikan.

Aku tahu, kesalahan yang kubuat bukanlah luka kecil yang dapat disembuhkan dengan mudah. Merusak harga diri Jeslyn adalah hal yang fatal. Tidak mempercayainya, membuatnya kalah dengan wanita lain hingga mempermalukannya di hadapan orang banyak. Jeslyn memang pantas membenciku, tetapi aku juga seharunya mendapatkan kesempatan untuk memperbaikinya.

Menyewa apartemen tepat di depan unitnya adalah salah satu caranku. Syukurnya semesta sedang berpihak. Unit itu kosong dan kebetuan aku sedang ada urusan dengan restoran sunda milikku yang ada di Ibu Kota. Selain menyewa apartemen, aku juga sesekali menanyakan kabar tentang Jeslyn kepada kedua kakaknya, memperhatikan instagam Jhoe—Kakak Perempuan Jeslyn—berharap mendapatkan kabar terbaru tentang wanita yang enam bulan terakhir ini menjadi dokter anak. Aku juga sebenarnya membuat akun baru untuk mengikuti instagamnya yang dikunci, sayang akunku belum juga diterima untuk mengikutinya.

"Eh!" Dengan cepat aku menekan kenop pintu saat melihat pergerakan dari pintu aparteman depan. "Pagi, Lyn."

Ya, aku sedang membuat sebuah kebetulan. Walaupun, mata sipit yang mengintip celah kunci apartemen selama satu jam ini harus menjadi korban.

"Mau berangkat kerja?" Aku memulai percakapan saat kami beriringan menuju lift. "Sekarang berangkatnya agak siang ya? Emang praktik jam berapa?

Tak ada jawaban dari Jeslyn, ia masih tetap terdiam dan tidak menganggapku ada. Pintu lift terbuka, dan kami beriringan masuk. Jeslyn menekan tombol lobi, sedangkan aku baseman. Tak ada percakapan di antara kami, kotak besi ini benar-benar hening. Tidak seperti setahun lalu di mana kami selalu bercerita dari pintu tertutup hingga kembali terbuka dan melanjutkannya di dalam mobil.

"Lyn, biar aku anter." Aku menahan tangan kanan Jeslyn saat pintu lift terbuka di area lobi. "Nggak nerima penolakan," ucapku sambari menggenggam erat pergelangan tangannya hingga pintu lift kembali tertutup dan membawa kami ke lantai paling dasar.

"Masih di rumah sakit yang sama?" tanyaku sembari menuntunnya menuju mobil. Genggamanku masih sama eratnya, seakan takut Jeslyn akan pergi dan menghilang dari pandanganku.

"Saya bisa naik taksi—"

"Biar raku anter," jawabku tegas, tak mempedulikan Jeslyn yang sedang berusaha untuk melepaskan genggaman tanganku. "Ke klinik atau rumah sakit?" Aku membukakan pintu mobil untuknya dan memutar dengan cepat untuk masuk juga. "Ke mana?"

"Budi Asih, yang di Cawang," jawab Jeslyn mengalah, ia masih mengetahui sifat keras kepalaku. Ya, seharusnya memang begitu. Kami sudah lama bersama dan hal-hal dasar seperti itu pasti saling tahu.

"Sakit ya?" tanyaku saat melihat pergelangan tangan Jeslyn sedikit memerah. "Maaf, ya. Tadi aku terlalu keras." Aku mengelusnya, tetapi Jeslyn dengan cepat menarik tangannya, mengusapnya sendiri dan membuang muka ke jendela samping.

Tak ada percakapan di antara kami berdua. Jeslyn masih tetap fokus pada jendela samping, sedangkan aku mulai mengemudikan mobil. Jika Lexus hitam ini bisa berbicara, ia pasti sudah berkomentar karena suasana sepi diantara kami, padahal biasanya keributan karena tawa selalu menjadi bagian utama saat kami bersama.

"Sampe siang kamu di sana?" Aku kembali memulai percakapan. "Atau lanjut ke klinik? Aku jemput jam berapa?" Semua pertayaanku yang tak asing saat kami bersama itu masih tidak mendapatkan jawaban dari Jeslyn.

Pemilik Ruang Kosong [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang