06. Masih Ingat

598 123 38
                                    

Jeslyn

"Heran, udah tua otak masih aja bodoh!"

"Kan, gue penasaran, Bang."

Perdebatan yang tidak asing untukku. Byakta memarahi tingkah bodoh Haider adalah hal biasa. Lagi pula, Haider pantas untuk dimarahi, bahkan otaknya jauh lebih cocok untuk dijadikan hidangan di restoran Padang.

"Udah aman, kan, Kak?" tanya Haider, sedangkan aku hanya mengangguk saja. Fokusku masih tertuju pada selang infusan yang baru diganti oleh perawat.

"Jangan lo bongkar pasang lagi!" omelku kepada Haider. "Ini klem, bukan ban traktor!"

"Tau!" sahut Byakta. "Bisa-bisanya lem Hyena dibongkar pasang."

"Klem!" koreksiku dengan sebal. Sakit kepalaku semakin parah karena berada diantara dua manusia bodoh ini.

"Nana juga," omel Byakta. "Darah kamu yang keluar cuma dikit, ngintip doang itu. Hebohnya udah kaya jadi korban perang."

Hyena hanya melirik sinis kepada Byakta. Siswi sekolah dasar itu masih dalam keadaan lemas dengan mulut yang sakit jika digerakan. Byakta beruntung karena tidak mendapatkan balasan pedas dari adik sepupunya yang paling kecil ini.

"Adik gue kayaknya mending dioperasi tiap hari, ya?" saran Haider. "Adem banget gak denger omelan pedesnya."

"Pita sura lo yang gue operasi!" sahutku dengan kesal. "Adik lagi sakit itu harusnya diperhatiin!"

"Dih—"

"Udah, udah, udah," potong Byakta dengan cepat. Pria itu memapahku untuk duduk di sofa yang tersedia. "Lagi sakit, jangan ngomel dulu."

"Tau, liat Salonpas di jidat, noh!"

"Ini Bye Bye Fever!" kataku mengoreksi Haider. Sepupu Byakta yang satu ini memang selalu memancing emosiku. Pantas saja masih jomlo, tingkahnya sangat menyebalkan.

"Udah, deh! Lyn, ayok istirahat di tempat kamu aja." Byakta dengan cepat melerai perdebatan tak penting antara aku dan adik sepupunya. "Ider, gue udah pesen sarapan. Nanti asisten gue yang ke sini."

Lirikan mataku seketika menjadi sinis, seakan sedang meradar bahwa hal bahaya akan datang. "Ke Haider, aku sama kamu," jelas Byakta seakan paham arti tatapan mataku. Pria itu langsung menuntunku kembali ke ruangan poli anak.

Beberapa perawat terlihat mencuri pandang ke arahku dan Byakta. Aku yakin setelah ini mereka akan berbagi informasi dengan rekan kerja yang lain. Apalagi ruang rawat inap anak adalah ranah kerjaku.

"Masih pusing?" tanya Byakta. Kami masih terus berjalan menuju poli anak. "Mau sarapan apa?"

"Nanti aja," jawabku. Pusing yang awalnya masih bisa aku tahan kini semakin menjadi-jadi. Bahkan aku berpegangan dengan erat kepada Byakta karena kepalaku seperti sedang berputar. Vertigoku kambuh. "Biii," panggilku pelan, tanganku bahkan memegang erat lengan Byakta hingga tiba-tiba tubuhku terasa melayang.

Aku kembali dibopong. Langkah Byakta terasa sangat lebar dan tergesa-gesa. Sedangkan aku berusaha untuk mempertahankan kesadaranku dan memegang erat baju Byakta.

"Jeslyn?" Suara Mas Shultan membuatkku semakin memegang erat baju Byakta. "Jeslyn kenapa?"

"Sakit," jawab Byakta singkat sembari membaringkan tubuhku di atas ranjang poli anak.

"Jeslyn?" Mas Shultan kembali memanggil, sedangkan aku hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. "Mau dibutin teh anget?"

"Minum dulu, nih." Pertanyaan Mas Shultan tak perlu lagi aku jawab. Byakta datang membawa gelas berisi air hangat. "Pusing banget ya?" tanya Byakta sembari membantuku untuk meminum air hangat yang ia bawa, tangan kirinya bahkan sudah memijat kepalaku.

Pemilik Ruang Kosong [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang