ILY - 5

15 2 0
                                    

Renzo menyipitkan matanya membaca daftar nama di mading. Bukan mencari namanya, melainkan nama kekasihnya. Anak olimpiade baru saja melakukan simulasi untuk kompetisi yang entah kapan akan dilaksanakan.

Renzo tentu saja sukarela berdesakan sedangkan kekasihnya itu duduk di kelas menunggu kabar darinya.

"Heh, lo ngigo ya?" Leon menarik kerah baju Renzo dari belakang "Lo kan bukan anak olim, Ren."

"Tapi pacar gue anak olim, dodol!" sungut Renzo kesal. Padahal ia tengah berusaha mencari dimana daftar olim, terlalu banyak yang di tempel di mading ini. Bikin pusing aja.

Leon ber-oh ria lalu nyengir, duduk di kursi panjang dekat sana, menunggui Renzo.

Sampai akhirnya, Renzo menemukan nama Marvellya Cendista di urutan teratas. Mendapatkan nilai tertinggi, menjauhkan selisih dengan si nomor dua.

"Anjrit pacar gue awesome!"

Leon mengernyit, yang nilai tertinggi Marvel, yang bangga dia.

"Ngapa lu yang kegirangan asu?!"

"Dih, jelaslah! Lo gak tahu rasanya karena gak punya pacar!"

Leon berdecih "Tunggu aja gue jadian sama Aleena,"

"Udah siap ninggalin club, cigarette, sama judi racing nya mas?" ledek Renzo yang membuat Leon terbungkam. Bingung menjawab apa. Lebih tepatnya tidak tahu.

"Jangan bengong! Bareng gak nih?"

Leon mengangguk kecil lalu mengimbangi langkah Renzo menuju kelas mereka yang bersisian.

Diantara yang lain, Renzo paling realistis, dia benar-benar frontal. Namun caranya menyampaikan berbeda dengan Alan. Kalau Alan dengan kalimat singkat, padat, nyelekit. Jika Renzo diselingi candaan namun dapat membungkam.

Beda lagi dengan Alaska yang frontal namun masih memikirkan perasaan dan menjelaskan apa yang ia pikirkan agar tak salah paham.

"Yon, misal nih ya," kata Renzo ketika Leon sudah berada di sisi-nya.

Leon menaikkan sebelah alisnya menunggu penuturan Renzo.

"Lo—ditolak Aleena?"

"Menurut lo? Ada kemungkinan di tolak?"

Damn Renzo!

"Misal ae,"

"I don't really think about it, the important thing's i still love her."

"Juancok," desis Renzo karena kalah berbicara dengan Leon Mahesadewa Prakasa.

𝕴𝕷𝖄

Tepat saat dering pertama bel berbunyi, Leon bersama antek-anteknya—tak terkecuali Alaska, sudah nangkring di depan pintu kelas XI IPA-2. Membuat para siswi mengurungkan diri keluar kelas, lebih memilih menatap wajah tampan mereka satu persatu.

Matthew Alaska Devlin, Leon Mahesadewa Prakasa, Grevin Ajax, Reyga Trisanaya, dan juga si gitaris Zovan Javera.

Alan berdecih melihat kelakuan mereka yang begitu bersemangat pergi ke sekretariat OSIS. Padahal kesepakatan awal hanya dirinya dan Leon yang pergi.

"Lo pada ngapain?" Jovi mengernyit heran.

"Ke ruangan OSIS laah!" kata Zovan bersemangat.

"Anjir, kalau semua pergi yang ada bakal di sangka mau tawuran daripada mau diskusi." Renzo menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Yok para anak-anakku kita ke kantin saja, biarkan Alan dan Leon yang pergi," tambah Jovi mengajak mereka semua.

Maaf-maaf aja nih, tapi emang kenyataannya Jovi dan Renzo sama sekali tidak tertarik untuk beramai-ramai mengunjungi ruangan OSIS itu. Catat, tidak tertarik untuk kesana, bukan tidak tertarik membuat event.

ILY AT 00.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang