🌵Tujuh

17 1 0
                                    

Cahaya berguling-gulingan dari ujung kasur lalu ke sisi berlawanan. Memberantaki sprei kasurnya yang sudah dirapikan sedari tadi. Biarkan saja, nanti juga dia bisa beresin lagi. Menunggu jam satu siang terasa sangat lama baginya, jarum jam terasa lambat berputar. Apa perlu ia ajari berputar dengan cepat?
Hhh. Cahaya uring-uringan sejak pagi, karna hari ini adalah pengumuman kelulusan ujian perguruan tingginya. Bang Fadil mondar mandir masuk ke kamarnya, mempertanyakan apakah ia lulus atau tidak. Mas Ian mana peduli, berkutat dengan ponsel di kamarnya. Ibu dan Ayah, berperilaku biasa-biasa saja. Padahal, hati Cahaya sudah hampir meledak khawatir tidak akan lulus. Bisa-bisa Mas Arian makin malu mengakuinya sebagai adik.

"Ya, gimana? Udah belum?"

"Diem dulu diem. Sini, masuk-masuk keluar-keluar. Bang Dil cuma nambah pusing aku"

Bang Fadil masuk ke kamarnya, ikut bergeletakan di atas ranjang memerhatikan ponsel Cahaya yang diangkat tinggi-tinggi. Laki-laki itu ikut cemas-cemas ajaib, khawatir tiba-tiba Cahaya memikirkan ide konyol kalau tidak lulus.

Tiga

Dua

Satu

Cahaya mengucap basmallah sebelum menekan tombol klik di layar. Menutup matanya rekat-rekat tidak berani lihat. Tentu saja, Cahaya halangi dengan tangan layar ponselnya, agar Bang Fadil tidak dapat mendahuluinya untuk melihat, enak saja. Ini kan hasil tes miliknya.

"Lulus!" Bang Fadil berteriak antusias, lalu memeluknya erat, bangga.

Hah?

Cahaya balik memeluk Bang Fadil. Lalu mereka berdua berlompatan sambil berpelukan. Hahaha, dia serasa habis dapat jackpot besar.

"Lulus?" Mas Ian memunculkan kepalanya di depan pintu. Raut wajahnya berbalik dengannya dan bang Fadil yang kegirangan. Cahaya dan Bang Fadil mengangguk bangga, sambil menyunggingkan senyum terbaiknya. Dia harus merayakan ini, dia akan memberitahu Mas Ilham yang pertama selain keluarganya. Ah, bukankah mas Ilham akan menjadi keluarganya juga? Keluarganya kalau ia tidak ditolak.

Astahgfirullah, Cahaya sepertinya perlu melakukan ritual pengusiran syetan di dalam dirinya.

"Jurusan apa?" Cahaya dan bang Fadil menggeleng. Terlalu senang melihat warna hijau di web dia lupa melihat tulisan tertera.

"Sebentar" Cahaya mengambil kembali ponsel yang tadi ia lemparkan ke kasur saking senangnya. "Tata Busana"

Mas Arian mengangguk-anggukan kepala "Seperti dugaan"

Cahaya tidak peduli hari ini pada mas Arian. Apapun perkataannya. Karna Cahaya terlampau bahagia hari ini, tidak ada yang boleh menghancurkan harinya siapapun. Dia harus traktiran dengan Haris, kembar dan yang lain.

"Makasih mas Ian. Iya Cahaya tau mas bangga sama Cahaya"

"Apasih gak jelas" mas Ian putar balik tubuhnya berjalan kembali memasuki kamar.

"SS dek, ayo buat story"

"Jangan mikirin perasaan sendiri. Emang yang sekontak sama kalian udah pasti lulus semua? Jangan jadi orang menyebalkan deh"

Cahaya dan Bang Fadil pandang-pandangan, lalu mengangguk kepala setuju dengan Mas Arian, jadilah mereka keluar kamar dengan riang, bagi kabar gembira dengan yang lain.

🌵🌵🌵

Sore hari, ibu sudah sibuk berkutat di dapur. Mengundang beberapa tetangga untuk buka bersama sekaligus tasyakur dadakan. Ibunya memang begitu, sedikit-sedikit tasyakur, sedikit-sedikit undang orang lain makan bersama, sedikit-sedikit jadi bukit. Hehe

Tidak semua ibu masak sendiri. Alasannya: tentu saja mana sempat dalam waktu beberapa jam menyiapkan banyak menu dalam waktu singkat. Takjil dan cemilan ia berdua dengan Bang Fadil yang berkeliling mencari. Sementara Mas Ian, bantu ibu di dapur. Haha diakui atau tidak, masnya satu itu memang jauh, sangat jauh lebih kompeten dalam memasak dan membantu ibu dibanding ia dan Bang Fadil. Katanya sih bahkan dulu, Mas Ian yang suka belanja sayur mengantri bersama ibu-ibu lain. Cahaya, mana pernah ia lakukan sendiri. Pasti hanya ikut ibu, atau ditemani Bang Fadil. Atau memaksa Mas Ian, yang ujung-ujungnya Mas Ian akan pilih pergi sendiri dibanding mengajaknya. Apa sebenarnya Mas Ian merasa terbebani dengannya yaa?

Mari pikirkan nanti.

Sepertinya ketidak adaan bakat Bang Fadil menurun padanya. Sementara bakatnya tidak ada yang turun sama sekali. Apa sebenarnya dia bukan bagian dari keluarga ini yaa? Atau jangan-jangan dia hanya anak angkat?

Mari pikirkan nanti juga

"Tadi ibu pesen apa aja sih, dek?"

Cahaya membuka ponselnya, melihat note yang telah tertulis titipan ibu.

"Gorengan, bang"

"Udah, terus?"

"Mau beli kolak gak?"

Bang Fadil mengangguk lalu menggeleng "Jangan, nanti kita sama Mas Ian suruh abisin semua"

Cahaya mengangguk-anggukan kepala. Mas Ian memang jauh lebih ibu-ibu dibanding ibu kalau dalam urusan begini. Tidak akan mengomel panjang tanpa tiap mulutnya yang terbuka, akan ada sebilah pisau yang akan keluar. Haha, untung dia bangga pada Masnya, selain sifat dingin dan mulut pedasnya yang menyebalkan.

"Bang bentar bang"

"Ada apa?"

"Ada mas Ilham"

"Jangan aneh-aneh kamu, Ya. Ayo buru!"

Mas Ilham menggendong Shanna, melihat-lihat mainan anak. Subhanallah, mas Ilham berkali lipat terlihat lebih tampan biasanya. Kalau orang lain tidak tau keluarga itu, pastilah menganggap Mas Ilham adalah papa muda.

"Eh ada Shanna"

"Haloo shanna!"

"Sehat, Dil?"

"Sehat Mas"

Oh iyaa, mas Ilham ini usianya lebih tua dari Bang Fadil, tapi masih lebih muda dari Mas Arian. Bang Fadil menyentuh pipi Shanna gemas. Shanna mengerjap-ngerjap lalu tersenyum.

Shanna shanna, masih kecil sudah tau cara menarik lawan jenis.

"Mba Sekar mana mas?"

"Di rumah" Cahaya ber 'oh' ria. Lalu memasang mata picik mengajak Shanna bekerja sama. Siapa tau dia tau kan maksud tujuannya. Anak kecil itu malah justru menatapnya balik dengan aura permusuhan. Sambil memegang erat pakaian Mas Ilham. Tau saja dia niatnya.

"Shanna cantik, ayo beli coklat!"

"Jangan onti, nanti diomelin mama"

Bang Fadil berdehem sambil menarik-narik ujung jilbabnya dari belakang. Menahan dia untuk tidak bertindak semakin jauh. Cahaya senyum-senyum tidak jelas, berpamitan pada Shanna dan tentu saja Mas Ilham. Sambil menginfokan kelulusannya menjadi mahasiswa. Mas Ilham benar-benar jadi orang pertama yang ia beritakan selain keluarganya. Setelah Bang Fadil, Mas Ian, Ayah, Ibu, keluarga dari pihak ayah, keluarga dari pihak ibu, para sepupunya, siapa lagi yaa?

"Mas, duluan yaa. Yok dek, diomelin ibu ntar"

"Iya. Selamat ya Cahaya, semangat kuliahnya nanti!"

"Iya, makasih Mas Ilham"

Tau tidak bagaimana ekspresi Cahaya sekarang? Menarik senyum sempurna seperti tanpa beban. Kalau begini, Cahaya pasti bisa melewati badai perkuliahan beberapa tahun ke depan. Bagaimana tidak semangat berkuliah, belum masuk kuliah saja sudah disemangati seperti ini. Cahaya sepertinya benar-benar harus membuat ritual pengusiran syaitan dalam dirinya.

30 days Cahaya RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang