🌵Dua

35 9 1
                                    

Tahu tidak apa kegiatan Cahaya bulan puasa kali ini? Tidak ada. Hehe

Lebaran kali ini dia masih menanti pengumuman hasil tes masuk perguruan tingginya. Tentu saja dia baru lulus masa putih abu-abu sebelum akhirnya berstatus pengangguran. Jadilah ramadhan kali ini dia hanya berdiam diri di rumah. Sebenarnya ada kegiatan Cahaya lainnya, mengganggu kehidupan kedua kakak laki-lakinya dan tentu saja menambah kepengapan rumahnya.

Oh, tebak apa yang Cahaya ambil sebagai jurusannya untuk kuliah? Benar. Tentu saja sebagai orang yang mengidolakan kakak tertuanya, Mas Arian. Cahaya ambil jurusan kedokteran, agar Mas Arian tidak malu mengakuinya yang pertama, juga agar dia tau apa yang harus diperbincangkan bersama Mas Arian jika berbicara. Kedua, Cahaya ambil jurusan Arsitektur, hanya semata-mata agar Bang Fadil tidak merasa iri kalau ia ambil jurusan yang sama dengan Mas Arian, haha. Jelas, kehidupannya tidak boleh jauh-jauh dari kedua kakak laki-lakinya. Terakhir dia ambil jurusan tata busana sebagai pilihan terakhirnya, karna satu-satunya yang ia bisa adalah mix dan match pakaian juga ketertarikannya yang tinggi pada dunia fashion. Barangkali setelah lulus kalau dia belum mendapat pekerjaan dia bisa membuka jahit keliling. Oh tidak.

Cahaya menyapu-nyapukan kakinya di tempat tidur. Tubuhnya terasa lemas sekali, seperti tidak biasa menahan lapar seharian. Ponselnya diangkat tinggi-tinggi, melihat-lihat postingan dan story teman-temannya di media sosial.

"Cahayaaaa disuruh turun sama ibu, bantu-bantu buat bikin takjil"

Cahaya bangkit dari posisinya untuk keluar kamar. Kakinya dilangkahkan dengan malas ke dapur. Bisa dibilang Cahaya hanya akan bantu-bantu di dapur di saat-saat seerti ini, kalau hari-hari biasa mana pernah ia. Mas Arian meliriknya malas, lalu lanjut memotong-motong sayuran di meja makan. Laki-laki itu memang lebih rajin dan tanggap membantu ibu dibanding dirinya.

"Sudah sana Yan, kasih Cahaya biar lanjutkan"

"Cahaya mana bisa beginian" Mas Arian masih melanjutkan potongan pada wortel.

"Meremehkan Mas Ian, bu" Cahaya mengangkat bahu acuh, memilih membantu ibu mendadar kulit untuk dadar gulung. Sementara ibu beralih siapkan bumbu-bumbu.

"Dek, balik ikannya dulu tolong" Ibu berjarak agak jauh dari kompor, ragu-ragu Cahaya turuti perintah ibu untuk membalik ikan goreng.

"Ibuuuuuuuuuuuuu" Cahaya kaget ketika ikan tersebut justru meledak dan tangannya tak sengaja menyenggol pinggiran wajan.

"Apasih yang kamu bisa?!" Mas Arian mematikan kompor, air wajahnya tak bersahabat sama sekali. Mana dia tahu kalau ikan lele digoreng dengan suhu tinggi akan meledak sefantastis itu. Bisa tidak Mas Arian tidak ketus? Selalu saja semua salahnya.

Setelah insiden terkena wajan panas, ibu alihkan tugasnya menjadi menggulung dadar gulung di meja makan. Panasnya masih terasa, padahal sudah ia oleskan salep untuk luka bakar. Bang Fadil duduk di sampingnya, bantu ia menggulung dadar gulung yang akan dikirimkan ke masjid untuk buka bersama.

"Nanti ke pasar malem yuk?"

"Emang ada?"

"Ada lah" Laki-laki itu mendekatkan wajahnya ke telinga Cahaya "Diem-diem aja, nanti ketauan Mas Arian diomelin"

Cahaya mengangguk cepat, bungkam mulut untuk kesenangan seperti ini sudah menjadi keahliannya.

"Masih sakit tanganmu?"

"Menurut Bang Dil?"

"Makanya jangan grasak-grusuk kalo kerja"

"Sudah pelan. Ikannya aja yang cari ribut"

Bang Fadil tertawa, tangannya latah mendorong kepalanya sedikit ke belakang.

Dia tidak salah kan?

Pukul setengah enam, Cahaya ikut Bang Fadil untuk antar makanan ke masjid, sekaligus ngabuburit. Bosan sekali ia seharian duduk di rumah, menatap walpaper pink di kamarnya. Ketika Bang Fadil sedang masuk ke area dalam, Cahaya tidak sengaja, atau mungkin radarnya yang terlalu tinggi, temui laki-laki dengan balutan baju koko dan kopiah hitam sedang buang sampah. Senyumnya ditarik senang sekali.

"Selamat sore Mas Ilham"

"Waalaikumsalam"

"Eh iya, Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam" Mas Ilham menundukkan pandangannya ke bawah, ke arah sendal jepit swallow hijaunya, lalu samar dia lihat tampak tercetak senyum tipis sebentar.

"Mas Ilham puasa?"

"Menurutmu?" Hhh, Mas Ilham sama saja seperti Mas Arian. Ditanya malah balik tanya. Tidak tau apa ya pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan basa-basi. Dasar barisan laki-laki tidak peka. "Ngapain kamu?"

"Oh mau ngabuburit sama Bang Fadil, nungguin dia ke dalem anter takjil"

Mas Ilham ini laki-laki yang selalu jadi bagian doanya setiap waktu, hihi. Tidak tau, Cahaya suka rasa degup jantungnya tiap kali berpapasan dengan laki-laki ini.

"Oh Mas Ilham gak perlu khawatir, ini cuma kena wajan panas sedikit doang kok sama kecipratan minyak, nanti juga sembuh" Cahaya mengulur senyum, meski dia yakin seratus persen Mas Ilham tidak akan melihatnya. Perasaan dia tidak sakit mata hingga bisa menularkan.

"Saya gak tanya tuh"

"Yaudah Cahaya laporan"

Laki-laki itu berjalan akan memasuki masjid kembali, Cahaya mengiring di belakang.

"Mas Ilham sore ini ada kegiatan?"

"Ada"

"Besok sore?"

"Ada"

"Minggu depan?"

"Ada"

"Minggu depannya lagi?"

Menatap dari belakang saja jantungnya sudah berdegup tak beraturan. Langkah kaki itu terhenti. Untung dia pandai dalam bergerak cepat agar tidak menabrak punggung laki-laki itu, atau harusnya apa ia tabrak saja? Sambil memeluk misalnya.

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaiton yang terkutuk.

Terkutuklah pikiran-pikiran tak masuk akalnya.

"Ada, selalu ada. Saya gakpunya waktu senggang untuk nanggapin kamu"

"Yah, Mas Ilham. Padahal kan saya mau ajak makan doang, serius deh" Ilham menggelengkan kepalanya. Tidak menghiraukan ucapan perempuan itu, anggap sebagai angin lalu. Cahaya ikuti langkah kaki Ilham kembali. Laki-laki itu kembali berhenti.

"Ini bagian laki-laki, Cahaya. Mau ikut?" Cahaya mengintip dari balik punggung laki-laki itu, lalu mengangguk paham. Cahaya memilih untuk berbalik kembali, tak jadi ikuti kemana laki-laki itu pergi.

"Yaudah deh, selamat berjumpa di pelaminan Mas Ilham" Ilham mengangkat bahu acuh, merasa bukan hal penting yang harus ia tanggapi

Ketika dapati Bang Fadil sudah tampak keluar dari dalam masjid, Cahaya angkat tangannya tinggi-tinggi, melambaikan tangan.

"Abis ngapain kamu?"

"Itu Mas Ilham godain Cahaya"

"Mana ada yang percaya sama omonganmu, seluruh orang di kompleks juga tau, kamu yang godain Mas Ilham"

"Abang maaaaahhh" Cahaya mengerucutkan bibirnya "Jangan diperjelas lagi"

30 days Cahaya RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang