Satu rumah sudah sibuk sejak pagi tadi. Hari ini akan ada acara buka bersama sekeluarga besar. Dia akan bertemu para sepupu-sepupunya. Cahaya tidak mengerti mengapa dari semua orang di keluarga besarnya dia adalah orang nomor satu yang paling sering dijahili oleh yang lain. Padahal dia bukan yang paling muda. Mas Ian akan menyusul sore nanti karna jadwal dinasnya hari ini di poliklinik yang paling tidak sekitar jam empat sore baru selesai. Ibu menenteng rantang berisikan lauk pauk. Serta beberapa loyang brownies yang berhasil diselesaikan jam dua belas siang. Cahaya membantu tentu saja, meskipun dengan malas-malasan.
"Nanti baru dateng disalimi dulu eyang, bude, pakde, om, tante baru kumpul sama yang lain"
"Iyaa"
"Jangan iya-iya aja, dilakuin. Gak sopan gak nyapa yang tua dulu"
"Nggih, ndoro"
"Bu Abang sama Cahaya naik motor aja ya. Biar bisa ikutan ngabuburit ntar sore sama yang lain"
"Ntar malem baliknya ngantuk, Bang. Udah bareng ajalah"
Ibu ini tipikal yang suka sekali bilang ini bilang itu. Intinya tipikal ibu-ibu pada umumnya, punya stok kalimat pembicaraan dari awal tahun sampai akhir tahun, tidak tau darimana sumbernya. Tapi, Cahaya, Mas Arian dan Bang Fadil yakin ibu mengatakan satu dua hal atau beribu hal tidak tanpa pertimbangan kebaikan untuk mereka. Cahaya bergelayut manja pada lengan ini, menyisipkan tangannya di pinggang ibu. Ah sayang sekali ia pada ibunya meski hobi mengomel.
"Dek, tangannya. Ganggu aja, ini ibunya lagi kerja dibantuin"
"Siap 86, bu"
Jam dua siang keluarganya tiba di rumah eyang, Para sepupunya sudah ramai. Baru melihat sosok sepuh para sepupunya aka Bang Fajrin yang sebenarnya umurnya tak jauh beda dengan Mas Arian, Nyali Cahaya sudah menciut duluan untuk turun.
"Mbak Aya, sini ngumpul!" Cahaya duduk mendekat pada Rania, anak tante Sarah.
"Sudah datang rupanya Cahaya illahi"
"Masih siang, Bang. Batal puasa kalo ganggu orang" Serena ikut duduk di sebelahnya. Dia ini adik Bang Fajrin. Sebenarnya kalau mengikuti silsilah keluarga dia harus memanggil Serena dengan sebutan kakak, karna mereka seumur, Cahaya tidak suka merasa dimudakan. Sudah cukup perlakuan orang di kompleknya yang mensejajarkan dirinya dengan para bocah.
"Ya, lanjut dimana kuliah?"
"Baru daftar. Rena dimana?"
"Medan" Rena tertawa, gigi kelincinya tampak "Balik kampung bapak"
"Jadi tinggal di rumah nenek?"
"Enggak, jauh kali dari kampus. 2 jam naik kereta, matilah di jalan belum sampai"
"Mati matilah, mau apa pulak"
"Hus" Tante Sarah menengahi, memberi mereka pekerjaan untuk mengelap piring dan gelas yang akan digunakan nantinya. Maklum, kumpul keluarga seperti ini tak berlaku setiap hari. Kalaupun tiap dua minggu sekali atau bahkan seminggu sekali berkunjung, mereka melakukannya bergantian, jarang sekali serentak. Hanya di momen-momen tertentu meluangkan waktu bersamaan.
"Ingat tidak waktu Cahaya masih kecil, polos sekali loh dia"
"Ha ngapa bang?"
"Dulu belakang rumah eyang ada ladang, banyakla tanaman disana. Ada bunga alang-alang, kata Fadil 'Coba Ya, manis' jelas-jelas rumput ilalang, pas digigitnya oleh Cahaya, kutarikla ujungnya, jadi bunganya masuk ke mulut" Keluarganya tertawa, Cahaya merutuki masa-masa lalunya yang terima-terima saja dijahili oleh sepupu-sepupunya.
"Terus inget gak, waktu main petak umpet tapi gaada yang nyariin Cahaya, sengaja ditinggalin?" Kak Azhar ikutan mengingat masa-masa kecilnya.
"Ingetlaa. Mana habiskan kita dimaki Arian"
"Iya, tiap kali Cahaya ketauan dijahili Mas Ian marahnya melebihi ibu-ibu"
"Abis dulu Cahaya gendut, macam ikan buntal, seru dijahili"
"Kalo Rena bang?"
"Pengadu"
"Berisik"
"Jangan lupa kan bang, Cengeng" Para sepupunya tertawa bersamaan, Serena memberengut bibirnya sebal.
"Apa tidak ada yang memihakku sama sekali?"
Sepupu-sepupunya menggeleng bersamaan, lalu meledakkan tawa memenuhi ruangan. Rena bangkit dengan wajah masam, memilih bergabung dengan para ibu menyiapkan menu buka puasa.
"Alamak ambekan kali kau, Ren"
"Sudahlah jan banyak omong pula Abang"
"Ren aku ikut. Gak mau ya aku bergabung sama mereka"
"Sini, Ya"
Cahaya tentu saja lebih memilih bergabung bersama Rena dan para orang tua. Setidaknya meski ia akan disuruh-suruh yang terpenting menjauh dari segala kejahilan bang Fajri dan yang lain. Kalau Cahaya sudah dianggap berisil si rumah, maka Rena ini dua kali lipatnya. Tidak pernah kehabisan bahan untuk diceritakan. Dari yang agak penting sampai paling tidak penting seperti asal muasal dia membeli case ponselnya. Sejujurnya Cahaya agak tidak peduli.
"Cahaya, gimana sudah ada calon?" Tante Sarah memulai genderang pertanyaan paling dibenci manusia sebumi. Cahaya pura-pura tidak tau maksud tante Sarah. Biarkan saja, tante Sarah yang akan kesal.
"Jangan kamu racunin pikiran Cahaya Rah. Baru tamat SMA dia. Masihlah panjang karirnya"
Bisa-bisanya ibu bicara mendahuluinya. Memang, satu rumah tidak ada yang menginginkan dia menikah.
"Calon udah ada tante, tapi masalahnya belum tentu mau sama Aya"
Tante Sarah tertawa puas. Padahal Cahaya tidak sedang melucu. Memang benar, mas Ilham menjadi calonnya, tapi belum tentu mau dengannya, atau justru sudah pasti tidak mau dengannya?
Nanti saja, ia tanya mas Ilham terlebih dahulu
"Rena ni tante tanyain, kayaknya udah punya" Rena memutar bola matanya, kaget dengan pernyataannya. Haha, dia harus menumbalkan orang lain supaya tidak dimakan habis sendirian oleh tante Sarah.
"Kurang nata de coco yaa. Yuk Ya, kita beli ke depan"
"Hayuk" Cahaya berdiri dengan senang hati. Lebih baik dia cuci mata daripada dijahili oleh kakak sepupunya atau diinterogasi oleh tante Sarah. Rena memang paling solutif dalam menghindari pertanyaan-pertanyaan yang semakin tidak diinginkan.
"Tunggu dulu, biar dilihat sekalian apa yang kurang"
Ternyata pergi keluar juga sama saja menjadi bencana.
Supermarket tampak ramai menjelang sore. Cahaya kelelahan berkeliling-keliling supermarket mencari bahan-bahan yang ternyata kurangnya tidak terlalu banyak namun sekalian disuruh belanja kebutuhan pokok oleh ibu dan budenya. Bang Fadil dan Idho mengikut di belakang, mendorong trolley belanja. Rena dan Cahaya tidak mau hanya lelah berdua sementara yang lain bersenang-senang. Enak saja, rasa lelah harus dibagi. Pada siapa lagi kalo bukan bang Fadhil dan Idho. Bang Fadhil sih, karna Cahaya paksa, kalo Idho terpaksa tidak memiliki pilihan lain karna selalu dikorbankan oleh yang lain.
"Senyum napa Dho. Gak ikhlas amat"
"Gak jadi kan kita ngabuburit kalo gini"
Mereka sudah berencana untuk ngabuburit beramai-ramai sore ini. Tapi malah jadi batal karna mereka berempat yang terlanjur disuruh berkeliling membeli titipan para orang tua, Mas Ian yang juga belum datang dan bang Fajrin yang tiba-tiba ada panggilan dari kantornya. Seketika rencana mereka batal.
"Yaudah nanti di jadwalin ulang aja. Sekalian bukber"
Idho menarik senyum, mendorong troli belanja dengan semangat. Dasar Idho, bisa-bisanya dia bermuka masam padanya hanya karna gagal ngabuburit.
