"Dek, bangun ayo buru!" Pintu kamarnya diketuk dengan gaduh.
Astaghfirullah
Cahaya bangun tersentak karna terkejut. Pasti kesiangan. Bergegas dia mencuci muka dan sikat gigi lalu berlari ke meja makan. Di meja makan hanya ada mie kuah dengan porsi besar. Bang Fadil melahap dengan cepat.
"Mas Arian gak sahur?"Cahaya menguap.
"Cepet keburu shubuh. Arian dinas malem"
Cahaya ikut duduk di meja makan. Mengambil sedikit porsi mie karna rasa kantuknya lebih berat untuk sekedar makan.
Selepas shubuh Cahaya ikut duduk bersama ibu untuk tadarrusan. Kalau masalah tadarrusan Cahaya tak pernah bermalas-malasan, ya meskipun dengan menahan kantuk saat mendengar orang lain yang membaca. Selepas shubuh biasanya para ibu akan tadarrusan bersama dengan remaja-remaja masjid putri di kompleknya. Kak Ifa tak terlihat ngantuk sama sekali. Cahaya menyenderkan kepalanya ke pundak perempuan itu.
"Kak Ifa numpang ya" Cahaya berbicara dengan suara rendah, sebelum dipelototi ibu-ibu.
"Jangan tidur ya tapi" Cahaya mengacungkan jempolnya.
Belum ada lima menit dia menempel pada kak Ifa, matanya tidak sengaja menangkap tatapan ibu melototinya tajam, menginstrusikannya untuk duduk benar-benar. Memang istri pak Hasan tidak ada belas kasihnya, anak perempuannya hanya menyenderkan kepala kepada orang lain saja langsung dipelototi tajam seperti itu. Posesif sekali, bagaimana kalau dia menyender ke Mas Ilham? Hhh
"Gimana Nur udah dipikirin lagi belum?"
"Apaan kak?"
"Sanlat"
"Gausah dipikirin itu mah" Cahaya menghindari sebuah batu kerikil tajam. Pulang dari masjid sendalnya selalu saja dibawa oleh ibu, agar dia jalan kaki tanpa sendal, untuk reflek apalah itu. Kalau begini kan kaos kakinya akan kotor dan dia harus rajin mencuci. "Gak suka aku tuh sama anak kecil"
"Halah. Jelas-jelas kamu masih sering ngambilin rambutan depan rumah bu Jefri sama Haris dkk"
Haris itu tetangganya, masih kelas 4 SD. Cahaya jadi pentolan kalau di geng Haris, Sena, si kembar (Deri dan Dera), Agung dan Gun. Jelas dia hafal, kalau mereka lagi kumpul Cahaya sering gabung. Bahkan Mas Arian kebingungan mengapa sekumpulan anak SD itu sering salam ke depan rumahnya padahal sudah tidak ada anak kecil di rumahnya.
"Kalo mereka udah bukan anak kecil. Lagian cuma ikut ngambil rambutan sama sepedaan, terus main karet abis itu-
"Mana ada cuma, ikut ajalah pokoknya yaa. Ntar aku bilangin ke Fadil suruh paksa kamu"
Cahaya tertawa terbahak-bahak. Bang Fadil? Memaksanya seperti ini? Kalau urusan ngabuburit atau hunting takjil masih mungkin. Kalau begini, laki-laki itu pasti sudah sadar diri duluan.
"Bang Fadil mana bisa" Cahaya mengangkat sarungnya lebih tinggi. "Kak Ifa lepas dong sendalnya juga gak adil"
"Cahayaaaa! Ayo buru, anterin ibu ke pasar" Benar-benar istri pak Hasan, tidak bisa melihatnya tenang. Salah Bang Fadil juga ada jam kuliah pagi. Kalau begini kan dia harus ambil alih pekerjaan antar-jemput ibu ke pasar. Mas Arian juga, kenapa pula harus shift malam tadi.
"Ibu sendalnya dulu kalo mau buru" Cahaya mengerucutkan bibirnya
"Coba dulu dong Nur, kalo gak suka kamu bisa mundur. Kalo sampe minggu akhir bulan puasa aku panggil kamu Cahaya"
"Deal ya?"
"Deal"
🌵🌵🌵
![](https://img.wattpad.com/cover/217272373-288-k576434.jpg)