αησмαℓι 13: 𝗂𝗇𝗂𝗅𝖺𝗁 𝗌𝗁𝖾𝖺

91 24 5
                                    

Long story

3k words~

***

Aroma itu akan selalu dikenangnya.

Air bercampur tanah. Apa namanya?

Benar, petrichor. Sebuah aroma yang di dapatkan ketika hujan turun. Air dari hujan menyentuh tanah dan entah mengapa itu menghasilkan harum petrichor. Kakaknya, Nayara tentu tidak akan menerima alasan 'entah mengapa'. Sebagai anak yang telah mengikuti OSN Biologi sejak kecil ia akan menjelaskan jika itu adalah mekanisme alam. Organisme berperan penting. Tetapi bagi Shea, ia tidak butuh penjelasan tersebut. Karena apa? Cukup simple. Ia bisa hidup tanpa mengetahui alasan tersebut. Jadi buat apa ia mengetahuinya?

"Kamu gak makan siang?"

Shea segera menolehkan kepalanya ke arah pintu. Terlihat ibunya yang baru saja mandi. Sepertinya sih baru saja pulang dari kantor.

Bibir Shea menipis membentuk sebuah senyuman, "Loh, tumben Mama jam empat udah pulang?"

"Pastilah.... Kan hari ini kakak kamu habis lomba OSN tingkat kota mewakili SMP-nya. Mama pulang biar ngerayain kakak kamu. Dia udah berjuang keras, loh...."

Ah..... Bibir Shea semakin menipis tak berbanding lurus dengan senyumannya yang semakin melebar. Ia kecewa.

Rasanya ketika ia mewakilkan sekolahnya baca puisi di Balai Kota kenapa kedua orangtuanya tidak sesemangat ini? Kalau kata papanya semua orang itu bisa baca puisi. Tetapi tidak semua orang bisa mengikuti OSN hingga tingkat nasional. Kakaknya salah satu yang bisa mengikuti hingga tingkat nasional. Sedangkan Shea? Paling-paling hanya sampai tingkat kota. Itupun membaca atau menulis.

Tetapi benarkah seperti itu?

Apapun itu, rasanya Shea juga ingin orangtuanya merayakan dirinya seperti kakaknya. Baginya, dengan seperti itu ia merasa lebih dihargai.

"Shea...." Panggil ibunya dengan sedikit keras. "Itu kamu gak makan siang?"

Shea menggeleng pelan. Masih berusaha tersenyum ia menjawab, "Enggak, Ma. Tadi aku makan di rumah Risa sambil ngerjain pr matematika."

Alis ibunya mengkerut, "Ngerjain pr? Ngerjain pr atau nyontek?" Ibu Shea menghela nafasnya, "Aduh Shea.... Jangan buat malu mama dan papa deh... Kan kami udah ikutkan kamu di tempat les terkenal, kenapa masih ngerepotin teman?"

Senyuman Shea hilang tak berbekas. "Kan aku udah bilang, aku gak ngerti cara gurunya ngajar, mah.... Aku itu ngerti kalau diajarain Risa makanya aku belajar sama dia."

"Tempat les itu bagus loh, Shea... Terkenal lagi. Masa mereka ngajarin kamu dan kamunya gak ngerti?"

Masalahnya bukan cara mengajar mereka mah.... Bukan masalah aku ngerti atau tidak. Tetapi kalau ketemu soal yang beda langsung mumet otak ku, Mah. Keluh Shea dalam hati. Sesungguhnya ia sudah capek berkata kepada sama orangtuanya. Ia lelah berkata jika ia memang tidak pintar menghitung. Lelah berucap jika ia tidak bisa menghafal hal rumit seperti biologi. Capek berkata kalau matematika, biologi, kimia, dan fisika merupakan kelemahannya. Tetapi mereka yang tidak mengerti. Sepertinya....

Entahlah, Shea juga tidak mengerti kedua orangtuanya. Mereka selalu berkata, "Kakak kamu bisa masa kamu gak bisa?" Atau kalimat halus seperti, "Kakak kamu itu bisa karena ia tekun. Setiap malam pasti dia belajar. Kamu harus ikuti kakak mu..."

Padahal astaga.... Shea juga udah belajar setiap malam. Mengikuti les di tempat terkenal juga tiga hari dalam sepekan. Jangan lupa, ia juga meminta bantuan kesana-sini sama temannya agar membantunya dalam belajar. Jadi bisa dalam sepekan, Shea selalu belajar setelah pulang sekolah dan dilanjutkan di malam hari. Hasilnya sih sama.... Nilai tujuh adalah keajaiban baginya. Jadi siapa yang harus disalahkan?

??????? ????????? ????Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang