1. Nafkah Batin

10.5K 492 15
                                    


Miftah membuka pintu kamar dan ia tercekat serta menelan saliva dengan susah payah saat melihat Naura, istri yang sudah dia nikahi selama tujuh hari tengah menyisir rambutnya yang panjang hampir sepinggang. Matanya enggan berkedip, bahkan bibir menyunggingkan senyum penuh harap.

Naura sendiri asik menyisir hingga sadar seorang lelaki tengah mengamatinya.

"Kalau masuk kamar ketuk dulu dong pintunya," omel Naura, seraya menyambar kerudung di atas tempat tidur.

"Aku suamimu lho, memang kenapa kalau lihat aurat kamu?" tanya Miftah santai, memasuki kamar dan menguncinya.

"Bukan, kamu bukan suamiku. Ini hanya kesialanku," jawab Naura dengan memalingkan wajah ke arah lain.

Miftah tertawa dan menatap istrinya yang sungguh cantik jelita. Kulit putih, bibir tipis merah muda, hidung mancung dan dia seorang dokter juga. Mengingatkannya pada dokter senior cantik yang sempat mengobatinya, dr. Aina Umair.

"Aina kecil," ujar Miftah tersenyum.

"Laki-laki mana yang memanggil istrinya sebagai wanita lain?" protes Naura lagi.

"Jadi maunya dipanggil apa? Naura cantik?" godanya.

"Ogah, gak usah buang-buang energi untuk merayu. Toh kita cuma menutup fitnah yang keburu tersebar."

"Aku menikahimu menyebut nama Allah dan di hadapan dua orang saksi."

"Tapi tanpa wali," potong Naura cepat. "Karena itu mungkin pernikahan kita tidak sah, karena ayahku masih hidup. Meskipun entah di mana. Dan kamu akan menangkapnya. Kamu menikahiku hanya untuk menangkap ayahku, iya 'kan? Jadi jangan sentuh aku ... karena saat ayah ditemukan, mungkin dia akan kamu penjarakan atau kamu tembak seperti biasa. Setelah itu aku kamu tinggalkan."

"Itu sinetron sekali, Nau," ujar Miftah pelan dan tersenyum.

Miftah mendekat dan Naura segera bergeser menajuh.

Merasa senang, lelaki itu kembali menggeser duduknya, dan Naura pun menggeser menjauh. Sampai akhirnya Naura hampir akan jatuh karena tiba di ujung ranjang, tapi dengan cepat Miftah meraih lengannya hingga istrinya itu tak jatuh ke lantai.

"Aku gak akan membiarkan kamu jatuh, begitu juga saat ayahmu ditemukan, aku janji tidak akan meninggalkanmu, Nau." Miftah tersenyum menarik istrinya yang tetap membuang pandangan.

"Aku gak percaya polisi, termasuk kamu."

Miftah terkekeh mendengar kalimat yang meluncur spontan dari bibir istrinya.

"Aku tahu, citra kami kadang sangat buruk akibat ulah beberapa oknum. Tapi suamimu ini beda," katanya dengan berniat menyentuh pipi istrinya, tapi diurungkannya.

Tujuh hari, keduanya menjalani pernikahan tanpa cinta dan tanpa tujuan. Keduanya tetap bersikap seperti orang asing, meskipun naluri laki-laki Miftah selalu hidup saat melihat istrinya yang bersikap ketus padanya.

Apalagi, jika rambut Naura yang indah tergerai tanpa sengaja ia lihat, atau kulit lehernya yang putih bersih. Lelaki mana yang tidak berdesir melihat segala pesona indah seorang wanita seperti itu? Apalagi mereka telah menikah, hanya saja Naura selalu menuduh suaminya hanya ingin menangkap ayahnya yang buronan polisi, mak setelah semua itu terjadi, ia akan dicampakkan.

Pernikahan mereka pun memakai wali hakim, karena ayahnya Naura--Rustam atau Rudy--gembong kejahatan narkoba, entah di mana rimbanya. Karena itu mereka dinikahkan oleh wali hakim, karena dalam sebuah insiden ketidaksengajaan.

Hingga detik ini, keduanya tak pernah saling sentuh apalagi mereguk madu surga dunia di malam pertama. Meskipun Miftah mulai merasakan kegeilasahan setiap kali melihat pesona istrinya, tapi ia tak pernah berani meminta.

Khusus malam ini, dia pun mendekati istrinya dan menatap dengan senyuman manis.

"Nau, boleh aku ngomong lagi?" tanyanya pada sang istri yang lebih sering membaca ayat suci untuk menenangkan hatinya karena dipaksa menikah dengan polisi yang ia benci.

"Katakan saja," katanya menjeda bacaan, lalu mengulang lagi dari awal.

"Bolehkah aku mengambil hak dan kewajibanku malam ini sama kamu? Nafkah batinku?" tanya Miftah dengan penuh harap, dengan suara lembut dan juga desiran yang menyiksanya.

Naura mengangkat wajah dan menatap asing serta menggeleng.

"Aku suamimu, terlepas kamu benci profesiku. Kita sudah halal secara negara dan agama."

Wanita cantik itu tersenyum sinis dan berpangku tangan setelah meletakkan kitab suci di meja.

"Kamu akan sentuh aku sebagai siapa? Sosok Aina Umair pujaanmu? Alisa si janda kembang? Atau Aina mantan kekasihmu yang suaminya kamu tembak di pelaminan?" tanya istrinya dengan mata tajam dan angkuh. Meski begitu, wajahnya memang tak pantas marah karena dia memiliki wajah yang teduh dan manis.

"Nau ... ya ampun, kenapa gitu nanyanya?"

"Karena kamu playboy, kamu juga cuma mau nangkap ayahku, kamu gak serius, pernikahan kita juga belum tentu sah secara agama karena ayahku masih hidup tapi aku nikah dengan kamu dengan wali hakim. Jadi, jangan pernah berpikir aku istri sungguhanmu. Mengerti?" tekan Naura dengan angkuh.

"Jika aku memaksa?" tanya Miftah menarik napas panjang dan mengeluarkannya cepat juga.

"Maksud kamu?"

"Jika aku memaksa mengambil hak dan tanggung jawabku malam ini? Karena seorang istri tidak boleh menolak permintaan suaminya, karena ia akan dilaknat malaikat sampai pagi, itu kata ustadz." Miftah berdir dan tersenyum penuh kemenangan.

Apalagi Naura langsung pias, saat melihat dirinya memamerkan perut dengan eigh abs yang pernah ia lihat saat memeriksanya sebagai dokter. Desirannya tentu berbeda dengan kala itu.

"Jangan mendekat!" tekan Naura mengangkat kedua tangannya dengan gemetar.

Miftah angkat bahu. "Aku suamimu."

"Jangan mendekat atau aku teriak?" ancam Naura.

"Paling keluargaku mengira aku sangat hebat."

Naura mulai ketakutan dan bibirnya bergetar sambil ditarik ke arah samping.

"Jangan, Mif ... aku belum siap."

"Tapi aku sangat siap."

"Penjarakan saja aku seperti kemarin sampai ayahku ditemukan!" pinta Naura dengan beringsut dan gemetar.

"Aku akan memenjarakanmu di antar kedua tanganku." Miftah mengedipkan mata dan seketika istrinya lemah tak berdaya.

Bersambung

NIKAH TANPA CINTA (Tersedia Di Gramedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang