6. Apa Tujuan Miftah Sebenarnya?

3.1K 269 14
                                    

"Kembali!" ujar Naura menatap Miftah yang tetap saja menyetir dengan kecepatan yang cukup tinggi, karena jalan tol cukup lengang hari ini.

"Nau, dengar ... aku akan menyelamatkan dan mengembalikan nama baikmu, jika semua telah usai, aku akan membawamu kembali ke Jakarta dan dr. Aina pasti akan menerimamu kembali. Sekarang ikuti perintahku, paham?" Miftah bicara dengan mata tetap lurus ke depan. Dia membawa Naura ke sebuah tempat yang orang tak mengenali mereka berdua untuk saat ini.

Sepanjang jalan, Naura hanya memegangi dada dan terus membaca doa-doa serta ayat suci. Matanya terpejam penuh kepasrahan, dia sangat cemas dengan ibunya.

"Ibu pasti menghubungiku," katanya dengan lirih dan membuka mata.

"Kita ke rumahnya?" tanya Miftah santai.

"Untuk? Apa yang akan aku katakan sama ibu?" Naura balik bertanya.

"Itu mudah, aku bisa minta dr. Aina untuk mengatakan kamu sedang diizinkan cuti selama satu bulan, cuti menikah."

"Apa?" pekik Naura melotot.

"Aku sudah bilang pada ibumu kemarin, aku calon suamimu," katanya santai.

"Kamu gila ya?" teriak Naura dengan menatap dan mengerjap berulang.

Miftah terkekeh dan dia sendiri bingung, kenapa kalimat spontan itu keluar dari bibirnya. Ia tak pernah bercanda soal pernikahan dengan siapa pun, tapi dengan Naura dia bisa mengatakannya sembarangan.

Lelaki berkulit cokelat itu melirik ke arah Naura yang masih menatap tajam dirinya.

"Kamu mirip banget sama dr. Aina Umair muda sepertinya, bedanya kamu memang kalem dari sananya, sedangkan dr. Aina enerjik. Itu yang kulihat dari video-video dirinya."

"Aku ingin kembali ke kantor polisi saja, tahan aku saja di sana," ulang Naura dengan kesal.

"Tidak bisa, aku sudah bilang, aku harus menyelamatkan kamu. Inilah caranya," katanya pelan.

Naura pasrah, apalagi saat mereka istirahat, Miftah mengikat tangan mereka berdua dengan borgol plastik. Tujuannya agar gadis itu tidak kabur. Beberapa orang memperhatikan dengan tersenyum, dan Miftah tetap cuek, seolah itu hal wajar.

"Takut calon istri saya kabur," katanya setiap kali orang menatap aneh dan bertanya kenapa tangan sang wanita diborgol segala. Orang-orang pun tertawa dan menganggap mereka romantis. Meskipun jelas Naura wajahnya sampai merah merona karena malu.

Keduanya duduk di salah satu warung di rest area, memesan makanan.

"Kamu mau makan apa?" tanya Miftah menatap Naura.

"Gak usah," jawab Naura.

"Konon gak usah dan terserah cewek itu gak bisa dipercaya," kekehnya. "Mas, mie goreng saja dua ya, minumannya es teh manis. Jangan terlalu manis, calon istri saya udah manis banget," ujar Miftah pada pelayan tempat makan.

Naura tak menjawab apa pun, dia sibuk memikirkan nasibnya yang harus apes seperti ini. Membayangkan ibunya pasti sangat kecewa dengan keadaan yang menimpanya. Sementara itu, Miftah menatap wajah gadis di hadapannya. Gadis berwajah lembut dan jelas tidak banyak tingkah.

"Ini pesananya, Mas," ujar pelayan.

Miftah pun semangat mengaduk mie goreng dengan telur di atasnya. Satunya ia geser ke dekat Naura yang tangan kananya terikat dengan tangan kirinya. Ia tak menyadari kalau Naura tidak bisa mengunakan tangan kanannya karena terikat dengan tangan kiri Miftah.

"Makan, jangan malu-malu. Gak papa mie instan sesekali makan aman kata dokter," ujar Miftah cuek, sedangkan Naura menarik napas panjang dan memutar bola matanya. "Eh, kamu dokter 'kan?" kekehnya sambil menggaruk hidungnya dengan tangan kiri, alhasil tangan kanan Naura pun ikut terangkat. 

NIKAH TANPA CINTA (Tersedia Di Gramedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang