12. Disidang oleh Atasan

3.2K 377 27
                                    

Miftah menoleh pada wanita yang duduk di sisinya dan sibuk menatap jalanan di sampingnya.

"Kata-katanya jleb banget ya?" ujar Miftah sambil kembali menatap ke depan.

"Aku kasihan dengan perempuan-perempuan yang mengorbankan dirinya untuk cinta yang sia-sia. Seperti ibuku," balas Naura dengan mata yang berembun.

"Ibumu?" tanya Miftah.

"Iya, dia tetap setiap pada ayah meskipun lelaki itu entah ke mana. Nafkah lahir dan batin tak dipenuhi, secara agama jika ibu ingin bisa mengajukan talak, tapi ibu malah setia dan ikhlas karena rasa cintanya pada suami. Karena ia yakin, bahwa ayah orang baik."

Miftah terdiam, artinya Naura dan ibunya benar-benar tak pernah tahu seperti apa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab pada mereka.

Mobil terus menembus jalan raya hingga masuk tol dan melaju semakin cepat menuju Jakarta. Naura pun mulai mengantuk dan seperti biasa tertidur pulas di joknya dengan nyaman. Miftah sendiri menoleh berulang kali dan tersenyum menatapnya.

Tengah hari, Miftah membawa mobilnya ke rest area terdekat dan langsung parkir tak jauh dari mesjid.

"Bu Kompol, mau salat dulu gak?" tanyanya dengan menyentuh pipi Naura yang langsung terkesiap dan mengerjap.

"Tangan tuh, ya," omel Naura sambil mengusap pipinya.

"Gemes, chubby banget pengen gigit."

Naura bersemu merah meskipun ia segera turun dari mobil, agar sang suami tak pernah tahu senyum dan kegugupannya.

Miftah sendiri turun dan membuka bagian belakang mobil, mengambilkan tas yang berisi mukena milik istrinya. Menyerahkan mukena pada Naura yang tetap enggan beradu pandang dengannya.

Wanita itu langsung menuju mesjid, dan Miftah langsung lari mengejarnya dengan menggenggam tangan Naura, lalu mengunci mobilnya.

"Jangan lari," katanya menatap Naura yang memutar bola mata.

"Aku mau lari ke mana sih, Pak Pol? Intel kalian di mana-mana, percuma lari juga pasti ketemu." Naura mengibaskan tangan dan langsung menuju tempat wudhu perempuan.

"Iya, kamu gak akan bisa lari dariku ...." Miftah tersenyum dan langsung mengambil wudhu juga di tempat laki-laki. Kemudia ia masuk mesjid dan melirik ke arah wanita yang tengah memakai mukena dan mulai salat dengan khusyuk.

Sang polisi pun menepuk pundak lelaki yang sudah lebih dulu salat, agar menjadi imam untuknya. Dengan khusyuk keduanya berserah diri pada Tuhan, bahkan Miftah untuk pertama kali merasakan begitu dekat dengan Sang Penciptanya.

Ia pun mengucap salam ke arah kanan dan kiri, lalu mengusap wajah dan bersalaman dengan orang yang menjadi imam untuknya. Kemudian berdoa dengan khusyuk, meminta banyak hal yang selama ini begitu jarang dia minta.

Ia pun menoleh ke belakang, menatap wanita yang masih khusyuk melaksanakan salat, lalu setelah berdoa dia berdiri lagi. Mungkin melaksanakan salat sunah ba'diyah.

Nau, entah kenapa ... sepertinya dalam napasku kini hanya ada namamu saja. Aku selalu memikirkanmu, wahai teman seperjalananku. Apa kamu bisa mendengar bisikan pesan dari hatiku melalui sentuhanku?

Naura mengucap salam, lalu berdoa lagi dan sangat khusyuk. Setelah mengusap kedua tangan ke wajah, ia pun melepas mukena dan melipatnya lagi dengan rapi. Sementara itu, Miftah menundukkan kepala pura-pura tak sedang menatap wanitanya.

Keduanya berdiri bersamaan, berjalan keluar mesjid dan Miftah menatap langit yang cerah tapi berawan.

"Awannya cantik, ya?" ujar Miftah membuat Naura menatap ke atas juga. Tersenyum dan memang awan sangat indah hari ini.

NIKAH TANPA CINTA (Tersedia Di Gramedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang