11. Naura Bicara dengan Aina

3.3K 384 33
                                    

"Naura," panggil Miftah membuat istrinya itu mengangkat wajah dan menggendong kucing yang tadi menggeliat manja di kakinya. "Kenalkan, ini Aina, teman masa kecilku."

Aina memalingkan wajah dan menahan air mata yang hampir meledak dari bendungannya. Ia pun melepaskan tangan Miftah dan mengusap wajahnya, lalu menoleh pada Naura yang tersenyum dan mendekat.

"Hai," ujar Naura dengan tersenyum dan mengulurkan tangan. Ia pun tak pantas cemburu, karena sadar tak pernah ada di hati Miftah. Dinikahi pun karena hendak ditangkap ayahnya, bukan karena dicintainya.

"Masuk dulu?" tanya Naura ketika Aina hendak pergi.

"Terima kasih," jawab Aina dengan menunduk dan tersenyum, meninggalkan sepasang suami istri itu dengan hati yang remuk.

Teman masa kecilku.

Itu seolah menjawab semua kerinduannya, bahwa telah sia-sia ia menantikan sepanjang waktu. Bahkan menguji dengan kenikmatan dunia dari wanita pun, Miftah tak menjawab. Atau karena Naura keburu datang?

Pasrah, ia baringkan tubuhnya di ranjang yang sama. Ranjang yang selalu menjadi saksi-saksi rasa rindunya pada Miftah.

Di rumah Miftah, Naura melewati Miftah begitu saja dan tangannya disambar suaminya lalu digengam erat.

"Begitu mudah tangan ini menembak orang atau juga menggenggam tangan seorang wanita yang bukan mahram? Apa kamu punya kartu istimewa dari Tuhan?" tanya Naura menatap manik mata Miftah yang terhenyat dengan pertanyaannya.

"Aku hanya ingin menjelaskan soal tadi."

"Itu bukan urusanku, karena aku pun tak pernah merasa sebagai istrimu sampai detik ini." Naura melepaskan tangan Miftah, seraya masuk dan menaiki tangga menuju kamar. Membuka pintu, lalu duduk di sisi ranjang.

"Dia bukan suamiku," katanya dengan melepaskan kerudung. Namun, matanya tertuju pada cincin tembaga yang disematkan Miftah meskipun longgar diganjal memakai tisu, lalu memaki plester agar tak longgar di tangannya.

Ia pun hendak membukanya, tapi ia urungkan kembali. Tak pernah dimengerti kenapa dia merasa berat melepaskannya.

Miftah pun masuk dan menatap Naura yang tengah memegang cincin dan seperti hendak melepaskannya. Dia pun langsung lari dan mendorong Naura sampai terlentang di ranjang dan tangannya dia tahan di atas, sampai-sampai mata itu melotot terkejut. Apalagi ini ke sekian kalinya mereka tak berjarak, kali ini benar-benar tak berjarak dan hanya terhalang pakaian yang mereka kenakan.

"Kamu mau apa?" Naura panik.

"Jangan pernah lepas cincin itu, mengerti?" tekan Miftah menatap pipi putih dan bibir menggemaskan itu. "Nau ... bolehkah aku?"

"Enggak!" tolak Naura cepat karena tahu apa yang diinginkan Miftah hanya dari melihat arah pandangan matanya saja.

"Kamu istriku  lho."

"Ngimpi!" omel Naura dengan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Miftah yang justru membuat gerakan tubuhnya yang menempel dengan sang suami.

"Kamu lagi bangunin aku ya?" tanya Miftah manja.

Naura melebarkan mata dan langsung menarik tangannya lalu mendorong suaminya.

"Dasar mesum! Berapa banyak sih perempuan yang kamu sakiti?" tanyanya kesal.

Miftah hanya tersenyum dan mengusap rambutnya.

"Intinya jangan pernah lepas cincin itu, atau ... aku akan melakukannya. Melakukan hak dan kewajibanku sebagai suami padamu. Ingat itu."

Naura melebarkan mata dan tentu saja memilih tak melepaskan cincin itu  daripada harus melayani suaminya di atas peraduan sebagai pasangan halal yang masih dia ragukan.

NIKAH TANPA CINTA (Tersedia Di Gramedia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang