Page 7

1K 232 36
                                    

"Ramen?" Jennie berkata ragu untuk dua hal; jenis makanan di depannya dan wadah yang digunakan. Ia menatap Lisa bingung. "Apa maksudmu?"

Lisa menyodorkan sepasang sumpit kayu kepada Jennie sebelum kemudian duduk di kursi meja pantry. "Seperti yang kau lihat," katanya. "Sepanci ramen pedas untuk Nona Kim."

Jennie terlihat semakin tidak mengerti. "Kau bilang kalau kita akan membuat bulgogi?"

Lisa meletakkan sumpitnya. "Di dalam ramen juga ada dagingnya."

"Itu daging sintesis." Jennie bersungut-sungut. "Lagi pula kita sedang berpiknik, dan orang piknik tidak ada yang memakan mi instan. Apalagi, astaga, ramen."

"Orang piknik juga tidak ada yang mendekam di dalam rumah, Janny Kim. Apalagi sepetak asrama." Lisa mengangkat bahu cuek. "Paling tidak satu panci ini kita bisa membaginya untuk dua mangkuk."

Jennie membuang napas dongkol, mengambil mangkuk mungil berwarna putih dan mulai menyumpit mi dari panci. "Yeah, harus kuakui tidak terlalu buruk," ucapnya, memandang wajah Lisa. "Daripada piknik aku lebih suka kalau ini disebut acara kencan."

Lisa balas menatap Jennie, berdecak. "Sudah gila."

Jennie tertawa lebar. Kembali melanjutkan menyumpit mi.

Kampus mereka sedang libur lima hari, itu sebabnya tadi malam Jennie ngotot ingin berpiknik. Sumpek, katanya. Lisa mengangguk tidak keberatan. Ide bagus. Ia juga butuh penyegaran otak. Gadis itu mengusulkan untuk berjalan-jalan sore di dekat Sungai Han atau membeli beberapa makanan di sekitar Hongdae. Tapi Jennie menggeleng keras. Bukan itu maksudnya. Piknik di dalam rumah dan membuat berbagai macam masakan enak adalah gaya berpiknik yang Jennie inginkan. Sepasang alis Lisa menukik tidak paham. Itu namanya bukan piknik, tapi bersantai.

Dan empat puluh lima menit mereka habiskan untuk berdebat. Hingga akhirnya bendera putih terangkat, Lisa memutuskan untuk mengalah. Yup, karena opsi paling rasional ketika seseorang berdebat dengan Jennie hanyalah mengalah.

Tadi malam Jennie tersenyum puas. Memandang Lisa jemawa. Ia menang telak. Kekuasaan seolah dalam genggamannya. Maka Jennie mulai memilih beberapa jenis olahan makanan yang cocok untuk judul piknik rumahan. Sampai akhirnya kesepakatan berakhir di menu bulgogi. Keduanya segera membagi tugas: Jennie menyiapkan uangnya serta Lisa yang membeli bahannya.

Tapi hari ini... oke lupakan.

Mereka berdua amat menikmati liburan kali ini—siapa juga yang tidak menyukai liburan—karena jarang-jarang kampus tua bangka itu membebaskan mahasiswa-mahasiswinya untuk berkeliaran bebas kecuali di dalam lingkungan pagar. Termasuk Lisa yang terlihat menyeringai senang. Jelas saja! Bukankah itu artinya ia bisa melakukan apa pun tanpa bayang-bayang Kucing Penjaga Sekolah dan Tuan Psikeater?

Ini sebuah keberuntungan.

Selepas pertemuannya hari itu—dua hari yang lalu—Lisa berusaha melupakan kesialan apa yang menimpanya. Jennie juga berpura-pura tidak tahu tentang apa yang terjadi setelah Lisa mendatanginya dengan wajah marah bukan main. Dan besoknya, mereka menjalani keseharian seperti biasa. Seolah tidak ada yang terjadi. Normal.

Si Tuan Psikeater pun sama. Ia seakan ditelan bumi—itu berlebihan—maksudnya hilang kabar, bukankah biasanya dia gencar bertanya mengenai Lisa kepada Soo-ahn?

"Omong-omong," Jennie buka suara setelah perbincangan tadi.

Lisa mengangkat wajah, memasang raut menunggu.

Jennie menelan ramennya. "Aku baru tahu kalau kau penyuka dongeng."

"Dongeng?" kening Lisa mengkerut dalam.

TINKERBELL || LizkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang