Page 4

1.8K 311 184
                                    

"Jadi, kau sudah ke sana?" Jennie beringsut mendudukan diri di sebelah Lisa setelah melepas masker wajah. "Bagaimana orangnya?"

Lisa mengembuskan napas, membaringkan tubuh di kasur. Kedua telapak tangannya menelungkup wajah. "Entahlah."

Jennie meraih ponsel di nakas, membenarkan letak duduk menjadi bersandar di kepala ranjang asrama. "Ponselku berisik sejak kemarin," gumamnya. "Berarti, besok kau akan ke sana?"

"Menurutmu?" Lisa mengangkat kepala, menatap Jennie. "Sebaiknya aku datang atau tidak?"

Jennie mengedikkan bahu. "Datang saja, barangkali itu penting."

Lisa berdecak, menggoyang-goyangkan kaki. "Tapi aku tidak suka sikapnya."

"Wae?"

Gadis itu menelentangkan tubuhnya menghadap langit-langit kamar. "Ya, tidak suka saja."

Jennie meletakan ponsel di paha, melirik Lisa sekilas. "Kau memang tidak pernah suka ke semua orang. Coba saja dulu, siapa tahu dia orang baik."

Setelahnya, tidak ada percakapan lagi selain Jennie yang kembali asyik dengan ponsel serta Lisa yang terlarut dalam kekalutannya sendiri

***

"Ini betul alamatnya?" Lisa berdiri di sebuah halaman, bertanya-tanya sambil mencocokan nomor rumah dengan sepotong kertas di tangan. "Iya benar," bisiknya kemudian. Lantas menoleh-nolehkan kepala ke sekitar. "Tapi sepi."

Sesuai perkataan Jungkook kemarin, Lisa serius datang ke kediaman pria tersebut selonggarnya waktu yang ia miliki. Lisa berangkat pukul setengah sepuluh dan sampai pukul sebelas kurang seperempat, mungkin kalau hari biasa bisa lebih cepat dua puluh menit. Tapi ini akhir pekan. Lisa naik bus. Jalanan padat merayap. Prediksi mulur berkali-kali lipat.

Gadis itu menghela napas pendek, keputusasaan dan bayang-bayang pulang ke asrama menghantui pikiran, sementara pintu di hadapannya seolah menyugesti suapaya Lisa mendorong kenopnya.

Ia mengulum bibir, mengedarkan pandangan. Kondisi masih sama, sepi. Lantas mendesah gusar, situasi seperti ini membuat perseteruan batin. Dan Lisa tidak punya pilihan selain dua hal: dibelit rasa penasaran, atau menanggalkan etika bertamu ke rumah orang.

Ia memejamkan mata, menarik napas dalam. "Baiklah." Mulai menguatkan tekad, menyeret langkah dengan separuh keraguan untuk membuka pintu. "Mungkin masuk saja tidak apa," batinnya menyetujui.

Lisa menjulurkan tangan, ujung-ujung jemarinya terasa dingin ketika bersentuhan dengan permukaan kenop. Desir angin membuatnya merinding, takut-takut kalau ada orang yang memergoki. Sebab Lisa tahu, lakonnya sekarang tak ubah seperti seorang maling.

Namun begitu kenop sempurna terdorong, keadaan tidak jauh berbeda seperti di luar. Ruangan yang didominasi warna putih serta cokelat kayu ini seperti tidak berpenghuni. Lisa sedikit terperangah oleh interior dan desain yang maha mewah, tapi segera lenyap saat perhatian Lisa langsung jatuh pada pembatas tangga. Peduli setan dengan tata krama, sepasang kakinya justru sudah melangkah bebas tanpa arahan. Gadis itu kembali berderap, satu tangannya meraih pembatas tangga untuk menuntun langkah, sementara bunyi ketukan kakinya terendam kaus kaki biru pastel menuju lantai dua rumah Tuan Psikeater.

Begitu undakan selesai, Lisa dihadapkan dengan tembok besar—seperti sekat antarruangan—ia menoleh, ada dua lorong di sisi kanan dan kirinya. Lorong pertama (sisi kiri) beraikhir pada sebuah pintu yang tertutup. Sementara sisi kanan merupakan sebuah lorong yang sepertinya mengarah ke sebuah ruangan.

TINKERBELL || LizkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang