Page 2

1.7K 306 42
                                    

Ruangan yang berpredikat sebagai tempat “orang bermasalah” ini tergolong luas. Meja panjang dari kayu kokoh membentang sepanjang—kira-kira—tujuh meter tepat berada di tengah-tengah. Delapan belas kursi putar bersandaran tinggi dengan sembilan masing-masing kursinya berhadapan mengapit meja sungguh menyempurnakan tampilan. Empat buah jendela besar-panjang kompak terbuka menghadap langsung area gedung tempat seminar yang terpaksa berhenti sejak satu jam lalu.

Lisa manggut-manggut kecil sambil meneliti sekitar. Bolamatanya hinggap pada jajaran buku jurnal di sisi ruangan sebelum akhirnya kepalanya tertoleh demi mendengar suara pintu terbuka.

Napasnya tersendat.

"Lalisa Manoban?"

Lisa berdiri cepat, ia membungkuk hormat. Orang tadi melangkah lebih jauh ke dalam ruangan dengan berkas di tangan, lantas mengambil tempat duduk di hadapan Lisa. Ia menunjuk kursi Lisa menggunakan telapak tangan. "Silahkan duduk."

Lisa menyeringai tanggung, mendudukan diri.

Orang tersebut mengambil kacamata dari saku jas, mulai membaca beberapa lembaran berkas. "Nona Manoban mengambil jurusan... komunikasi, betul?"

Lisa mengangguk takzim, hatinya berdebar waswas.

"Itu artinya kau pandai dalam bergaul." Ia meletakan lembaran berkas, berbasa-basi sambil tersenyum, melipat tangan di meja, menatap Lisa.

Lisa menggeleng kecil. "Tidak juga."

"Oh ya? Hampir semua mata ujian berating baik. Apa Nona ini termasuk seorang impostor?"

Lisa termangu begitu menyadari jawabannya amat keliru, tidak lama tertawa sumbang. Bodoh. Ia mengutuk dalam hati. Itu sama saja dengan menjebak diri sendiri karena omongannya asal, dan hanya soal waktu, percakapan ini pasti akan menjalar ke mana-mana.

"Bagaimana hubunganmu dengan keluarga?"

Lisa mengangguk. "Baik. Kami berkontak lima sampai enam kali dalam sepekan."

"Apakah kalian sering bertemu?"

"Tidak sering." Lisa menggeleng. "Biasanya mereka yang ke mari saat liburan musim panas."

"Seperti itu? Kenapa bukan Nona sendiri yang ke sana."

Lisa tersenyum kaku. "Ibuku bilang, lebih baik fokus saja belajar di asrama. Untuk urusan liburan tidak perlu dipikirkan."

"Oh? Bukankah Ibumu terlihat sangat perhatian?"

Lisa tertawa sungkan.

"Maka dari itu, secara tidak langsung, beliau membebani Nona supaya lulus dengan gelar terbaik, bukan?"

Lisa menelan ludah, mengangguk ragu, matanya melirik name tag wanita di depannya. Kwon Soo-ahn. Wanita berumur lebih dari tiga puluh tahun dengan rambut legam lurus sebatas bahu ini benar-benar tipikal “kucing penjaga sekolah” yang suka menyudutkan.

Bunyi nyaring telepon di samping jajaran buku jurnal memenuhi udara—memotong situasi menyebalkan barusan. Soo-ahn mengangguk, meminta izin sejenak, dan sebelum Lisa balas mengangguk, dia sudah melangkah cepat ke sana, mengangkat gagang telepon, segera terlibat percakapan seru dengan lawan di seberang tentang seminar tadi.

"Pihak kampus sudah tahu apa yang terjadi denganmu, Nona Manoban." Soo-ahn sudah kembali, beranjak duduk di hadapan Lisa. "Seluruh mahasiswa bahkan sudah tahu bagaimana kronologisnya." Ia menghela napas samar.

Lisa mengangguk lemah. "Semuanya pasti akan lebih cepat."

"Akhir-akhir ini, memangnya pernah terulang hal demikian?" Soo-ahn berkata serius.

TINKERBELL || LizkookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang