DUA

617 75 12
                                    

.

.

.

Chapter 2

.

.

.

"..kenapa tidak mau melanjutkan kuliah? Mama sudah persiapkan semuanya, mama sudah-"

"Jangan mengatur."

Seragamnya berantakan, tubuhnya basah terguyur air hujan. Dan ketibaannya di tempat ini disambut dengan omelan dari wanita itu.

Halilintar melempar sepatunya ke rak, kemudian berjalan menuju tangga untuk mencapai kamarnya di lantai tiga-sama sekali tidak berniat untuk memberikan kecupan di punggung tangan sebagai salam masuk ke rumah pada Ibunya.

Dimarahi karena ia pulang tanpa mengenakan jas hujan sehingga tubuhnya basah kuyup?

Oh tentu saja tidak.

Wanita itu mengomel karena wali kelas Halilintar menghubunginya. Ia menghubungi Amanda karena putranya tidak mengisi lembar formulir yang diberikan sekolah kepada siswa kelas dua belas-untuk menuliskan nama perguruan tinggi yang akan dituju setelah lulus SMA.

"Halilintar, tolong dengarkan Mama. Pendidikan itu penting. Mama tidak mengajarkanmu untuk–"

"Apa?" Langkah kakinya terhenti.

"Kau pernah mengajari aku apa?" sahutnya dengan dingin.

Wanita itu tertegun mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut putra sulungnya. Ia tidak bisa membalas ucapan Halilintar karena anak itu tidak sepenuhnya salah. Ia menghela napas pelan, membiarkan putranya berlalu.

Halilintar melanjutkan langkahnya ke anak tangga menuju kamar, sama sekali tidak ingin mendengar kata-kata pembelaan dari wanita itu.

Kuliah? Tidak, dia tidak berminat sama sekali.

Dia tidak mau membuang waktunya untuk masuk ke perguruan tinggi. Ia hanya ingin cepat-cepat menghasilkan uang sendiri dan membawa kedua adiknya pergi dari tempat ini.

Meski sebenarnya bisa saja ia bekerja sambil kuliah, tapi itu artinya ia harus tinggal di tempat ini lebih lama karena masih terikat dengan kebutuhan biaya, dan ia tidak hal ingin itu terjadi.

Ia yakin mereka–setidaknya dirinya sendiri bisa hidup tanpa orang tua. Tanpa Amanda sekalipun.

"Hebat. Sepertinya akan ada petir kutukan dewa yang menyambar anak manusia menjadi batu hari ini."

Seorang laki-laki se-usianya yang tengah bersandar di dinding menyambut kehadirannya di lantai atas dengan tawa mengejek. 

Tapi Halilintar memilih untuk mengabaikannya. Ia bahkan tidak mau repot-repot untuk melirik manusia itu dan melanjutkan langkahnya menuju tangga selanjutnya.

"Manusia memang harus sadar di mana tempatnya. Dan bangku kuliah itu bukan tempatmu. Tidak cocok. Tidak layak. Keputusanmu sudah tepat, jagoan." tambahnya.

Alisnya bertaut, kenapa orang ini jadi berisik sekali?

Sudahlah, tidak penting. Ia tidak ingin menggubris dan menghabiskan energinya. Setidaknya sampai Halilintar selesai mandi dan mengisi perut, karena mungkin saja setelah itu Halilintar akan meladeninya jika ia cari gara-gara lagi.

"Kau merasa keren ya sudah berbicara seperti itu pada Ibu?"

Oh, sepertinya Halilintar tahu alasan kenapa Kaizo banyak bicara hari ini. Anak kesayangan ibu sepertinya sedang sakit hati.

Halilintar enggan repot-repot menjawab, ia berlalu melewati saudara tirinya itu.

"Haah. Aku muak denganmu. Cepat enyahkan wajahmu dan kedua adikmu itu dari rumah ini, dasar tidak tahu diri."

RETAK (A BoBoiBoy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang