.
.
.
Chapter 4
.
.
.
"Kak Hali beneran mau pergi?"
Halilintar tetap melanjutkan aktivitasnya dalam mengemas barang, memasukkan segala kebutuhannya ke dalam sebuah koper dan tas ransel.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Kalian juga bisa main ke sana. Nanti kakak jemput kapan-kapan" ujar Halilintar menghibur adik-adiknya.
Setelah pakaian terakhirnya sudah masuk ke dalam ransel, ia kemudian menoleh pada Taufan dan Gempa yang ada di belakangnya.
Taufan sedang menekuk tangan di atas kursi putar, sedangkan Gempa duduk di tepi kasur. Mereka menunggu Halilintar selesai berkemas.
"Aku pengen ikut. Boleh gak?" Bujuk Gempa.
Matanya berbinar, "Aku jugaa" Taufan tak mau kalah. "Kita bisa main di sana~ di daerah Atok kan ada pantai. Pasti seru! Ya kan Gem?" Gempa mengangguk, mengiyakan pernyataan Taufan.
"Enggak bisa." Sahut Halilintar dengan tegas, si kembar terlihat kecewa mendengarnya.
"Tapi saat kakak sudah kerja nanti, kalian akan kakak bawa ke sana. Kalau sekarang, kasihan Atok. Kalian juga udah kelas enam, sebentar lagi masuk SMP, butuh banyak uang." Jelas Halilintar, berharap kedua adiknya itu mau mengerti.
"Tapi kan masih lama-" keluh Taufan. "Aku gak mau di sini. Males. Ada si landak. Nyebelin."
Gempa mengangguk setuju. "Mama juga sibuk terus." Tambahnya.
Halilintar tercenung mendengar keluhan kedua adiknya. Sejujurnya ia sangat tidak ingin meninggalkan Taufan dan Gempa sendirian di sini.
Karena meski ada Amanda, Halilintar tidak yakin. Dia kan tidak begitu peduli pada anak-anaknya.
"Kakak bakal jemput kalian. Gak akan lama. Kakak janji."
Taufan dan Gempa tidak merespons apa-apa lagi, mencoba untuk mengerti dan menerima keadaan.
Meskipun "tidak lama" yang Halilintar janjikan mungkin memiliki arti lebih dari lima tahun.
.
.
.
Enam bulan telah berlalu sejak Halilintar bicara pada Amanda bahwa ia memutuskan untuk angkat kaki dari rumah itu, meninggalkan Taufan dan Gempa tanpa pengawasannya.
Pada awalnya Amanda tidak setuju. Tapi ia tidak bisa menang melawan keras kepala Halilintar dan akhirnya memberikannya izin, meskipun sebenarnya Halilintar tidak memerlukan itu.
Proses pindahannya cukup memakan waktu karena dia harus menunggu hingga kelulusannya tiba. Dia tidak bisa mengambil risiko untuk pindah jika masih berstatus sebagai pelajar di sekolah lamanya.
Mustahil jika harus pindah ke SMA yang dekat dengan rumah kakek karena waktu itu ia sudah menginjak kelas tiga SMA semester akhir.
Tidak akan ada sekolah yang mau menerima murid pindahan 'tanggung' seperti Halilintar karena proses administratifnya pasti akan sangat sulit.
Halilintar hanya pamit pada Taufan, Gempa dan Amanda. Sisa penghuni rumah itu, apalagi Aagron tidak tahu menahu akan kepergiannya. Biarlah itu jadi urusan mamanya.
Lagi pula untuk apa bersusah payah pamit pada mereka? Toh mereka juga tidak akan peduli.
Tapi sekarang semuanya sudah selesai. Ia berhasil menginjakkan kaki keluar dari rumah itu dan akan memulai hidup baru yang tenang bersama sang kakek.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETAK (A BoBoiBoy Fanfiction)
FanfictionSebagai anak sulung dari keluarga yang tak utuh, bukan hal mudah bagi Halilintar untuk menjalani hidup dengan tanggung jawab yang dibebankan pada pundaknya sebagai seorang kakak sekaligus orang tua untuk kedua adiknya. Tapi yang pasti, ia akan mela...