LIMA

373 47 10
                                    

.

.

.

Chapter 5

.

.

.

Apresiasi merupakan suatu hal yang sudah seharusnya diterima oleh seorang anak dari kedua orang tuanya tanpa syarat, terlepas dari apa yang dilakukan, atau apa yang telah diraih, selama itu masih dalam lingkup hal yang positif.

Karena dengan begitu, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri dan merasa dicintai, juga tidak akan merasa haus akan validasi.

Tapi Taufan tidak ingat, apa kedua orang tuanya pernah memberikan hal itu pada dia dan kedua saudaranya.

Sepertinya tidak.

Karena sejak dulu, mereka hanya sibuk bertengkar. Tentang apa pun. Mereka bahkan sanggup untuk tidak bicara satu sama lain selama satu minggu penuh dan saling menghindar dengan dingin.

Ketika Halilintar pergi sekolah, Taufan dan Gempa terbiasa untuk saling menghibur satu sama lain; bermain bersama, dan melakukan apa pun yang bisa membuat mereka sibuk sendiri, karena kedua orang tua mereka tidak pernah memiliki waktu untuk anak-anaknya.

Makanya Taufan terkejut ketika guru kesenian memujinya, berkata bahwa ia memiliki bakat natural untuk bernyanyi. Suaranya merdu dan unik. Ia juga mendapatkan nilai nyaris sempurna dari tes mata pelajaran seni di kelasnya.

Ini adalah kesempatan yang bagus untuk menunjukkan kepada Amanda bahwa ia juga memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan, seperti yang dikatakan oleh gurunya.

Tapi ternyata semuanya tidak semudah yang dibayangkan.

"Masih belum bilang ke Mama?"

Gempa berjalan masuk ke dalam kamar Taufan tepat ketika kembarannya itu sedang termenung, memperhatikan selembar kertas yang sudah satu minggu lalu diberikan guru keseniannya.

Sejak Halilintar pindah, kamarnya menjadi milik Taufan. Tapi rasanya masih aneh tidur terpisah seperti ini karena mereka terbiasa berdua.

Taufan menggaruk kepalanya, "Iya. Mama belum pulang soalnya. Kemarin-kemarin juga sibuk terus, aku gak sempet kasih"

"Eh? Iya kah?" Gempa melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Sejak sore tadi dia tidak keluar kamar, sih. Jadi tidak tahu kalau Mamanya belum ada di rumah.

"Bisa kok, Fan. Jangan minder" ujar Gempa menyemangati. "Ayo percaya diri, kamu kan selalu gitu"

Taufan mengerjap.

Apa ini? Rasanya terbalik.

Taufan terkekeh. "Sekarang Gempa udah gede yaa" godanya. "Dulu kan nangis terus"

Memang sih, sekarang kembarannya jadi lebih berani. Bahkan pertengkarannya dengan Fang membuat Taufan kaget. Sayang sekali ia tidak ada di sana dan menyaksikan kembarannya yang pendiam itu marah.

Situasi yang sangat langka.

Si kembaran menggaruk lehernya, malu. "Ya.." gumamnya tak jelas.

"Kalau aku tampil nanti, Kak Hali datang gak ya?"

Gempa menoleh, memperhatikan Taufan yang tengah tersenyum sendu sembari meremas ujung kertas yang ia genggam.

Tentu saja mereka berdua juga tahu kalau jarak antara kota mereka dan Kota Rintis tidaklah dekat. Tapi bukan berarti tidak mungkin kakaknya itu akan datang.

Dan mama?

Entah lah, sepertinya Taufan tidak mau berharap banyak padanya.

"Pasti dong, Kak Hali kan sayang sama kita." Ujar Gempa optimis.

RETAK (A BoBoiBoy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang