TUJUH

109 12 9
                                    

.

.

.

Chapter 7

.

.

.

Aba memperhatikan langit yang telah ditinggalkan matahari sejak beberapa jam yang lalu melalui jendela, mencocokkannya dengan jarum jam yang ternyata telah menunjuk angka sepuluh.

Wajah yang terhias gerut usia itu tergambar khawatir, ia bahkan sudah selesai menyantap makan malam, tapi piring di seberangnya masih kosong. Ia yakin semua hidangan yang ada di meja juga telah dingin sepenuhnya.

Halilintar berkata bahwa ia akan pulang sebelum pukul tujuh, tapi kini malam sudah larut dan belum ada tanda-tanda kehadirannya.

Meski ia adalah seorang pemuda berusia sembilan belas tahun, tetap saja Aba tidak akan bisa tidur tenang sebelum cucunya itu sampai di rumah dengan selamat.

Ia berjalan menuju kamar Halilintar yang berada di lantai atas untuk menyalakan lampu, serta menutup jendela yang masih terbuka lebar karena penghuninya belum jua kembali. Cahaya lampu dari rumah-rumah dan keadaan sekitar yang hening membuatnya menghela napas sekali lagi.

Aba memperhatikan sekeliling, kamar cucunya ini terhitung rapi sebagai kamar laki-laki. Tidak ada cucian kotor di lantai, meja belajar yang tersusun, serta tempat tidur yang sudah tertata. Lantai pun bersih.

Perhatiannya teralihkan pada sebuah pigura berisi potret dua bocah laki-laki yang sama persis sedang tersenyum, mereka sedang merangkul satu sama lain dengan bahagia.

Itu adalah Taufan dan Gempa, kedua cucunya yang jarang sekali ia temui. Bukan tanpa alasan, tapi Aba enggan memulai konflik yang tidak perlu jika berhadapan dengan Amanda.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka saat Aba turun menapaki anak tangga terakhir. Oh sepertinya cucunya telah kembali, padahal baru saja ia berniat untuk mengambil ponselnya dan menghubungi Halilintar.

Suara pintu itu terdengar pelan, berusaha menghindari bising-berharap sang pemilik rumah telah terlelap dalam mimpi dan tidak menyadari kehadirannya.

Tapi dugaannya salah. Kakeknya itu sudah ada di depan mata ketika Halilintar selesai mengunci pintu.

Sumringah sekaligus lega, kedatangan pemuda yang telah ia tunggu sedari tadi mencipta senyum di wajahnya.

Tapi tidak dengan Halilintar. Wajahnya tertutup topi-memblokir pandangan sang kakek yang menunggu ucapan salam darinya.

"..assalamualaikum.."

Bagus. Suaranya serak dan berat. Lebih berat dari biasanya. Halilintar hanya bisa berharap kakeknya itu tidak menyadari perubahan suaranya.

Setelah menjawab salam, Aba menerima kecupan di punggung tangan. Kulit Halilintar terasa bak es batu saat tangannya menjabat.

Aba menduga ada suatu hal yang terjadi hingga cucunya yang tidak pernah pulang terlambat ini harus pulang dalam keadaan yang menyedihkan. Meski tak ingin menunjukkannya, Ia tahu bahwa Halilintar baru selesai menangis.

"Gantilah baju, lalu makan dulu"

Tentu saja Halilintar menggeleng, "..tidak perlu tok, aku tidak lapar-"

"..biar atok hangatkan supnya." Titahnya terucap jelas, pria lanjut usia itu membalik arah tubuhnya dengan tangan yang bertaut di belakang, tidak menerima penolakan.

Dan mau tak mau Halilintar harus mematuhinya.

.

.

.

RETAK (A BoBoiBoy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang