(9)

2.7K 97 1
                                    

Deheman pelan bikin hidung bang bima berenti endus rambut kepala gue, trus refleks menoleh ke sumber suara itu berasal.

Gue ketegun begitu liat sosok cewek penghuni sebelah kanan kamar gue setelah lorong pendek menuju balkon, berdiri dengan satu tangan mengulur ke arah kami.

"Ada powerbank? Pinjem bentar, dong. Baterai ponsel gue mati, nih. Kemarin lupa di cas sebelom ada pemadaman listrik," pinta cewek itu lugas.

"S-sori ... nggak ada," sahut gue jujur bikin cewek itu dengus berang. "Coba tanya penghuni kamar sebelah. Kali aja mereka punya."

Tatapan cewek itu pun segera beralih ke bang bima yang masih betah rangkul leher gue dengan kedua lengan berotot dia.

"Saya punya satu. Tapi ketinggalan di kamar lantai bawah. Ambil aja sendiri kalo mau," sambung bang bima dengan seulas senyum jenaka.

Beda sama gue beringsut gelisah dalam dekapan serta embusan hangat napas bang bima di tengkuk bikin lutut gue mendadak lemas.

Muka cewek itu sontak merengut, trus segera berderap balik ke kamar sambil banting pintu ketika dia masuk.

"Ish, resek betul kamu bang. Masih pagi udah bikin cewek ngambek aja," tegur gue sambil cubit lengan kekar bang bima, tapi malah jempol dan telunjuk gue yang kerasa sakit.

"Abisan asal main todong aja nggak liat sikon kalo mau pinjam barang," gerutu bang bima dengan iringan geraman tertahan bikin gue malah tambah sange berat.

"Coba kalo tadi abang lagi ngewe sama bini di kamar, trus dia main selonong masuk tanpa ketuk pintu dulu. Apa nggak bikin kesel, tuh?" sambung bang bima masih mengomel sama perilaku kurang sopan cewek itu.

"K-kali aja ada urusan mendesak, bang. Semisal mau ijin ke atasan nggak bisa masuk hari ini. Jadi dia butuh powerbank segera," balas gue coba liat kejadian itu dari sisi berseberangan.

Bang bima rada kecewa ketika gue tepis pelan rangkulan lengan dia di leher gue, tapi nggak coba protes.

"O-oji haus, bang. Mau ambil minum bentar ke kamar," pamit gue begitu lepas dari belitan lengan bang bima.

Bang bima cuman mengangguk, trus kedik bahu pelan. "Pergilah. Abang nggak apa sendirian di sini."

Meski masih pengin pelukan sama bang bima, tapi gue nggak mau ambil resiko kepergok dua kali sama penghuni kamar lain pagi itu.

Lagian balkon bukan tempat aman untuk umbar keintiman, karena bisa keliatan jelas dari jendela kamar lantai dua rumah kosan lain di seberang jalan.

Siapa tau di balik jendela bergorden biru laut itu ada mata kamera sedang sibuk merekam kami sebagai konten video baru mereka demi mendulang banyak view.

Nggak peduli sama dampak dari unggahan konten sampah mereka bakal merusak moral generasi micin jaman now yang udah pada kebelet nikah muda.

Nggak jauh beda sih sama tindakan asusila gue semalam, tapi kan tujuan gue murni buat koleksi pribadi. Bukan untuk konsumsi publik.

Tapi bang bima tampak biasa aja tuh, seakan main rangkul leher temen dengan kedua lengan merupakan perilaku wajar di kalangan para pria.

Atau mungkin aja pikiran gue yang kelewat lebay dalam memandang situasi kami sekarang.

Maklum, faktor kelamaan jomblo. Jadi nggak tau perbedaan perlakuan antara ke teman dan ke pasangan kita sendiri.

Setiba di kamar, gue liat muka rafa kebenam di pangkuan mbak astri sambil terisak pelan.

"R-rafa kenapa, mbak?" tanya gue ke mbak astri yang sedang elus punggung bocah malang itu.

"Eh, oji. Ini ... rafa--"

Cinta Bersemi di kala Banjir [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang