3. Tewerin

30 6 0
                                    

Hutan Tewerin sunyi seperti biasanya, tidak ada pergerakan, tidak ada suara, bahkan helaan napas pun terdengar sangat jelas.

Sosok ramping perlahan melangkah memasuki wilayah hutan, mata awas memandang sekeliling, busur panah berada dalam posisi siaga, siap ditembakkan. Bersiap akan kemungkinan terburuk.

Seperti yang dikatakan Ruin kepada Maethor, tidak ada bahaya yang bisa mengancam keselamatan Ruin di Hutan Tewerin. Tapi tidak ada salahnya juga bersikap waspada.

Tirai terbuka tanpa sebab sudah cukup menjadi alasan bagi Ruin untuk bersikap waspada. Siapa tahu ada tamu tak diundang yang berkunjung dengan niat buruk.

Telinga berkedut, terdengar suara pergerakan udara dari atas, menoleh ke arah datangnya suara. Tiba-tiba matanya tertutup oleh sesuatu yang melingkari kepalanya dari belakang.

Tersenyum teduh, Ruin melepaskan satu tangan yang memegang busur demi menarik benda berbulu yang melingkari kepalanya. "Aewen," menyapa dengan suara bergetar.

"Chirp!! Ruin jahat, chirp! Gak mau maen lagi!" Sosok berbulu mendarat di pundak Ruin merapikan bulu-bulu berwarna merah menyala di kedua sayapnya. Mata merah bulat berkilat tajam. Badan mungil sebesar kepalan tangan pria dewasa, kor panjang menjuntai hampir menyentuh pinggul Ruin.

Masih dengan senyum di bibir, tangan mengelus kepala kecil makhluk yang bertengger nyaman di pundak kanannya. "Tidak akan ada yang percaya jika Aewen adalah phoenix legenda yang menjaga Hutan Tewerin jika ada yang melihatmu seperti ini."

"Chirp! Aku tidak peduli! Aku kangen Ruin! Ruin jahat, gak pernah maen lagi, chirp!!" Seolah merasakan perubahan suasana hati Ruin, ia mengalihkan pembicaraan, "Tumben Ruin kemari, Chirp! Ada apa? Kangen Aewen ya?"

Melirik malas tidak ada niat untuk membalas perkataan phoenix yang bertengger manja di bahunya. Alis memincing sebelah, menemukan sesuatu yang tidak wajar beberapa meter di depan.

Berlari kecil, berjongkok untuk memeriksa. "Ada yang datang kemari .... " ujarnya setengah berbisik, meningkatkan kewaspadaan.

Burung berbulu merah terang di pundaknya hanya mendengkur pelan sambil merapikan bulu di sayapnya.

Ruin mengendus udara. "Siapa yang datang? Kenapa tidak bilang?" bernada menuduh yang diabaikan oleh Aewen.

"Ruin, tidak tanya, chirp!" bersikap acuh tak acuh, namun tetap menjawab.

Memutar bola mata, memilih untuk fokus pada tujuannya. Menghadapi Aewen terkadang butuh kesabaran ekstra. "Jadi ... siapa yang datang?"

"Tidak tau, chirp! Orang aneh, tiba-tiba muncul, wush! Tidur lama, trus pergi lagi, chirp!"

Memperhatikan jejak yang tertinggal, tidak ada aroma yang tersisa, memperhatikan arah jejak tertinggal, kening berkedut. Hutan Tewerin dikelilingi oleh Sungai Sirion, jejak yang tertinggal, menuju ke tempat itu .

Gawat!

Bergegas mengikuti jejak, dalam hati berdoa semoga perkiraannya salah. Semakin jauh melangkah, pikirannya semakin tak tenang.

"Berapa lama?"

"Chirp?!" Merasa bingung dengan pertanyaan Ruin yang semakin singkat. Aaah, lampu imajiner bersinar terang di matanya. "Cukup lama sampai aku bisa tidur siang, chirp! Terus ada Ruin datang."

Mengangguk singkat sebagai jawaban. Berarti sudah cukup lama, semoga tidak ada hal buruk.

Bergerak lincah, masih dengan phoenix yang setia bertengger di pundak, tak butuh waktu lama bagi Ruin yang sudah terbiasa keluar masuk Hutan Tewerin untuk mengikuti jejak yang terlihat jelas. Dalam hati meringis melihat beberapa ranting dan tanaman kecil patah dengan kondisi mengenaskan.

GELIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang