Hari setelah perayaan Oranor adalah waktu di mana Ruin mengunjungi istana Ratu. Maethor sudah menjemput bahkan saat Ruin baru belum selesai berganti pakaian.
"Daggor."
Ruin menoleh saat mendengar namanya di sebut. Maethor sudah tiba, walau dia tidak masuk ke dalam ruangan, suaranya sangat jelas terdengar di dalam ruangan.
Melirik sekilas pada seorang yang masih terbaring di ranjangnya yang sama sekali tidak terganggu. Tidak ingin menyebabkan lebih banyak gangguan, Ruin mengambil jubah luarnya dan melangkah meninggalkan kamar.
Pria berbadan gempal dengan wajah tegas telah menunggu dengan sikap siaga di luar pintu. Menunduk hormat saat melihat Ruin keluar dari ruangan pribadinya, diam-diam melirik ke dalam kamar.
"Pagi sekali, Maethor."
"Hamba diperintahkan ratu untuk menjemput anda secepatnya. Dan juga sedikit khawatir dan ... tidak tenang." Diam-diam kembali melirik ke arah kamar.
Ruin melambaikan tangan santai. "Berapa kali aku bilang ladamu, Maethor? Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."
Dari sudut mata ia melihat tangan Maethor terulur padanya. "Apa yang kamu lakukan?" sergah Ruin sambil beringsut menjauh. Bagaimanapun dia tidak terlalu suka bersentuhan dengan orang lain.
"Ijinkan hamba membantu," jawabnya, mata mengarah pada jubah luar yang tersampir di lengan Ruin.
"Oooh, tidak perlu, aku bisa."
Perjalanan menuju istana Ratu cukup memakan waktu, karena Ruin tidak ingin terlalu tergesa-gesa. Mengabaikan kenyataan jika Maethor mendapat pesan khusus dari ratu untuk secepatnya menjemput Ruin.
Sebuah bangunan menjulang, berdiri kokoh dengan tujuh pilar penyangga di bagian depan. Terbuat dari bahan kristal bening berwarna peach yang mampu berkilau walau tanpa sinar matahari, berkilau, tapi tidak menyilaukan, menimbulkan kesan transparan tapi tidak dapat menembus pemandangan apapun yang ada di dalam ruangan.
Merapikan jubah perak yang selaras dengan warna rambutnya, berjalan anggun mengikuti pelayan wanita yang menyambutnya di pintu masuk. Memandang ke kanan-kiri, pelayan dan pengawal hampir semua wanita, ciri khas istana ratu dan putri mahkota.
Diantar sampai depan sebuah pintu kokoh,dengan bahan yang sama dengan keseluruhan bangunan hanya berwarna lebih gelap, Ruin mengangguk pada Maethor, mengizinkan prajuritnya pergi, dan ia pun melangkah masuk.
Di dalam ruangan yang cukup luas, sudah berkumpul raja, ratu dan putri magkota Kerajaan Aranour, mengelilingi sebuah meja kristal segi delapan ditemani aneka hidangan yang tertata cantik.
"Brannon nín, Brennil nín*, Hiril nín," Ruin memberi salam satu per satu.
(Brennil nín: my lady. Tingkatan di atas Hiril nín.)"Gwador nín," Claur, sang putri mahkota berwajah giok dengan rambut cokelat muda membalas dengan binar di kedua matanya.
"Ruinku!" ratu tak kalah antusias, wajahnya memancarkan kerinduan yang dalam. Bagaimanapun dia menganggap Ruin putra kandungnya sendiri.
Raja hanya berdehem ringan, mengangguk sebagai balasan.
Ruin mengambil posisinya yang biasa, di sebelah kanan ratu, di kiri putri makhota, tepat dihadapan raja. Ketiga orang tersebut mengenakan jubah paniang berwarna hijau daun muda dengan sulaman berwarna emas, warna kebesaran Kerajaan Aranour yang hanya boleh dikenakan oleh keluarga raja.
Ratu tentu saja tidak tinggal diam, berdiri dari kursinya dan menyambut Ruin dengan pelukan sayang yang hangat seperti biasa. Disusul oleh Claur yang juga bergelanyut manja di lengan Ruin, menatapnya dengan penuh pemujaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GELIR
FantasyDalam bahasa sindarin, Gelir berarti Gay. Ooh, betewe .... Terkadang ada slip typo dan italic, mahapkeun sebelumnya.