Tidak ada yang akan hilang sampai itu mengajari kita apa yang perlu kita ketahui.
******
5
hari telah berlalu.
Hari sudah mulai pagi, Mahkota hanya memutar dalam jalan yang melingkar. Tidak sama sekali dia temukan jalan untuk menggandengnya kembali, bagaimana bisa setenang ini? Ini membuatnya hampir luput dalam bimbang.
Rasa gemetar tak cukup untuk memperburuk keadaan, Mahkota menelpon kesana dan kemari menanyakan keadaan Marisha. Akan tetapi, tidak ada yang mengetahuinya.
( Sedikit cerita masa lalu, ternyata kebenaran tentang Marisha adalah tetangganya waktu di desa dulu. Mahkota kini menemukan kembali perempuan yang selalu muncul dalam mimpinya. Marisha adalah seorang gadis cantik pertama yang Mahkota sukai,dia adalah cinta pertamanya waktu kecil. Namun karena hidup Marisha dan keluarganya sangat melarat, Mahkota tidak di perbolehkan berdekatan dengan Marisha. Bahkan nama Marisha saja baru saja dia ketahui ketika dia bertemu di kota.)
Ternyata, prespektif yang paling menyakitkan dalam suatu hubungan. Itu adalah waktu, jika saja kamu salah menempatkan waktu dalam porsi yang tidak semestinya, itu akan menjadi hasil akhir dari pembukaan awal yang kamu lakukan. Itu akan membuat jalanmu semakin membesar dan kamu tidak dapat menutupnya.
Mahkota merunduk di pojok kamar dengan tirai yang melilit, pemikiran yang tak kunjung usang membuatnya kehilangan akal. Melamunkan banyak hal, bagaimana, dengan seandainya.
Mahkota telah membereskan semuanya, namun satu hal yang belum usang, itu adalah Marisha. Dia telah banyak berbicara mengenai Marisha dengan banyak orang. Sayangnya, sama sekali tidak juga dia temukan Jawaban.
Saat bayang-bayang Marisha semakin kuat dalam benaknya, dia mencoba memberanikan diri untuk menemui Pak Mansyur di kediaman rumahnya saat ini.
Tatapan sinis dan sambutan yang kurang baik dari Pak Mansyur membuat Mahkota tidak dapat bertele-tele. Dia memohon agar dapat menemui Marisha sekali ini saja, namun penolakan dari Pak Manyur terus terjadi.
Kini mahkota telah putus asa, dia tidak punya pilihan lain. Membungkuk di kaki Pak Masyur sembari menangis, suasana seketika menjadi hening. Pak Mansyur melihat ketulusan dari Mahkota untuk putrinya.
"Sudah, bangun.!" Pak Mansyur lekas duduk di kursi.
"Tidak, aku tidak akan bangun sebelum kau memberi tahu dimana Marisha."
"Apa yang akan kamu lakukan dengan Marishaku? Belum puas kah, tidak ingat bagaimana perlakuan ibumu terhadap putriku?"
"Maaf, maafkan aku. Itu semua salahku."
"Bukan salahmu tapi salah keluargamu, kenapa kamu yang minta maaf? Kamu tahu sejak saat itu Marisha tidak lagi dapat bergaul dengan sembarang orang, dia sangat prustasi layaknya orang gila."
"Jika aku bisa menebusnya, aku akan melakukan apapun untuk Marisha."
"Apa kamu sungguh dengan kata-katamu itu?"
"Ya."
.
Sudah Mahkota temukan jawabanya, dia langsung bergegas menaiki mobil dengan kecepatan tinggi. Mengetuk jari-jemari kearah setir mobil, hanya menatap lurus kearah jalan yang sepi hingga sampai di perbatasan kota.
Jalanan yang hampir tidak beraspal, membuat mobilnya terperosok kedalam lelumpuran yang licin. Jarang sekali orang melintas di jalanan ini, dia sama sekali tidak memiliki cukup banyak waktu untuk mengurus ini sendirian.
Mahkota memutuskan untuk berjalan kaki dan meratapi nasib. Entah mungkin benar akan menemukannya atau tidak, namun yang terpenting, dia sudah mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan.
Semua bentuk rumah tampak sama. Mulai dari warna, pagar, dan nomber yang tertera. Dia tidak dapat mengetuk tiap pintu yang berjajar, sudah hampir 1 jam memperhatikan gerak-gerik mereka yang berkeliaran di lingkungan itu. Akan tetapi, dia tidak bisa menemukan letak batang hidungnya saja.
Mahkota duduk bersandar di salah satu gerbang yang tertutup rapat, mengehela nafas, dan memejamkan mata sekejap, lalu merunduk memeluk kaki.
"Aku sudah lelah, bagaimana ini?" Mahkota bergumam sembari meneteskan air mata. kemudian menegakkan tubuh kembali, mengusap rambut dan beranjak dari duduk yang tersorot matahari. Saat hendak memalingkan pandangan, seseorang tepat berdiri di tengah bayangan Mahkota.
"Ketemu." Mulutnya bergumam tanpa di sadari, tubuh yang mematung dan mata mereka saling memandang.
"Kenapa lama sekali?" Ujar Marisha yang mematung.
" Maafkan aku terlambat. Apakah kamu baik-baik saja?"
"Tidak," Marisha menghela dan mengusap air mata yang menetes di wajahnya. "Maafkan aku, maafkan aku leo." Marisha kemudian menutup wajahnya dan menangis tersedu-sedu.
Akhirnya, Mahkota menemukan Marisha. Entah bagaimana keadaan yang sesungguhnya, asalkan Marisha berada tepat di dekatnya, dia akan merasa lebih tenang dan nyaman.
Memegang tangannya dan menyuruh marisha berhenti disebuah taman, dedaunan yang tumbuh subur dan anak-anak yang sedang bermain. Mereka duduk bersandar di bawah pohon yang melengkup dan meluapkan semua emosi.
"Aku menemukan dirimu Marisha," Mahkota menghela nafas dan menatap kosong ke sekeliling taman. "Aku pikir, aku akan benar-benar kehilangan dirimu lagi."
"Maafkan aku, aku juga tidak tahu akan semelenceng ini. Jangan membicarakan apapun tentang kejadian itu." Marisha memelas dengan nada bicara yang aneh.
"Tidak masalah, sekarang kamu ada disini dan aku tidak perlu khawatir."
"Sebenarnya," Marisha mengehela nafas sembari menatapku. "Aku adalah orang gila, aku benar-benar gila. Kamu melihatnya bukan."
"Apa yang kamu bicarakan?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu, kamu bahkan lebih mengetahui ini dari pada siapa pun. Aku sangat benci situasi ini." Marisha berbicara padaku dengan tatapan yang sinis.
"Tidak, kamu adalah hal terindah yang tidak aku temukan dari orang lain."
"Kamu tahu, aku adalah pasien pasca terauma di atas ambang," marisha merundukan kepala dan mengetuk jari-jarinya. "Aku takut, suatu hari nanti, mungkin kamu tidak akan menyukaiku lagi karena penyakit ini, aku sangat takut. Jika suatu hari aku tidak dapat mengendalikan emosiku dan menjadi bruntal karena aku tidak dapat menahannya, dan aku kehilangan batas wajar dalam hidupku. Maka dari itu, aku putuskan, aku tidak akan menyukaimu atau siapapun itu. Akan tetapi, aku tidak ingin jauh darimu."
"Kenapa seperti itu? kamu tidak boleh pergi dariku. Aku bahkan menyukaimu dari apapun itu. Aku akan menemanimu jadi tidak perlu khawatir dan percayalah padaku."
"Tidak aku sangka, tetapi percayalah satu hal. Jangan pernah mempercayai aku."
"Sebelum itu, aku memiliki satu syarat yang harus kamu penuhi."
"Apa yang kamu lakukan? Syarat apa?"
Marisha terlihat kesal."Kamu harus pulang dan kembali bekerja denganku." Ujar Mahkota menatap marisha yang sedang terpaku bingung.
"Baiklah aku setuju." Marisha tersenyum girang, dan tangan mereka akhirnya saling mengepal dan terikat kembali.
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Normal
Teen FictionTidak ada yang tidak sakit, mereka hanya belum di diagnosis.