abstrak

16 12 4
                                    

"Berada dalam ruang lingkup yang menganggap kita hal yang
paling berguna, adalah sebuah
anugrah yang sangat besar."

Beberapa hal terlihat mustahil ketika di katakan kebetulan. Banyak sekali hal yang sedang terjadi sekarang dan mungkin saja, ini hanya pelarian dari kenyataan yang sebenarnya. Jadi untuk itu mereka dapat menjelajahi banyak hal yang belum mereka rasakan.

"Aku mencemaskan marisha saat ini. Ketakutan terbesarku sudah mulai terlihat satu demi satu, padahal sudah aku cegah perlahan. Namun, kebocorannya berada dimana-mana hingga aku tidak dapat menampung bebannya." Lirih Mahkota kala itu.

Mahkota terus-menerus menelpon marisha, tak kunjung satu pesan pun dibalas olehnya.

Dia berusa keras mengiriminya text, akhirnya Marisha membacanya. Mahkota bergegas melajukan mobil dengan sangat kencang menuju rumah Marisha.

"[Marisha, aku akan menemuimu sekarang. Tunggu aku, aku sedang berada di perjalanan pulang.]" Isi pesan Mahkota.

Dia melompat dari mobil dan berlari mengetuk-ngetuk pintu rumah Marisha, dengan tangan yang membawa seikat buket bunga mawar putih sebagai permintaan maaf.

Marisha dengan tatapan dingin membukakan pintu lalu pergi memalingkan muka begitu saja. Dengan gugup, Mahkota mengikutinya masuk dan duduk di kursi ruang tengah rumah ini.

Marisha yang nampak sangat marah, berjalan ke dapur dan membuatkan segelas minuman. Karena sudah cukup lama, dan Mahkota sudah lama berpikir panjang.  Dia memberanikan diri mendekatinya dan menyodorkan bunga.

"Maafkan aku marisha, akan aku menjelaskan semuanya."

"Apa yang perlu kamu jelaskan, ini semua sudah terjadi. Aku tidak mau mendengar apapun lagi, ini sudah cukup sulit bagiku."

"Tidak, kamu harus mendengarkan penjelasanku. Jika tidak, aku akan terus merasa bersalah padamu." Mahkota menghampirinya.

"Kenapa kamu merasa bersalah padaku? Kita bahkan bukan sepasang kekasih, jadi jangan berlebihan." Marisha kesal dan langsung memalingkan pandangannya.

"Kenapa kamu menjadi sangat emosional? Padahal aku akan menjelaskan semuanya, kenapa tidak sekalipun kamu mendengarkan perkataanku. Kurang sabar apa lagi aku terhadap dirimu, aku benar-benar sangat kesal padamu sekarang."  Mahkota berdiri tegap tepat di hadapan Marisha dengan nada bicara yang kurang rendah.

"Baiklah, baiklah jelaskan sekarang! Kenapa kamu melakukan semua ini kepadaku? Inikah balasanmu terhadap keringatku selama ini? Kenapa aku merasa aku lah yang paling tersakiti sekarang, aku merasa seolah-olah aku sudah tidak berarti apapun lagi dalam kehidupanmu? Kenapa kamu tidak membicarakan ini terlebih dahulu dengan diriku? Lalu kenapa? Kenapa aku mendengar semua ini dari wanita itu hah?" Teriakan Marisha dengan kontrol yang tidak setabil.

"Aku berniat memberi tahukan ini terlebih dahulu kepadamu, aku berusaha menelponmu berulang kali. Akan tetapi, kamu selalu sulit untuk di hubungi. Aku berniat mengganti posisimu sebagai sekertarisku mukai sekarang, karena apa? Itu karena aku sangat khawatir terhadapmu. Aku selalu membawa dirimu dalam masa sulit, aku memberimu banyak pekerjaan yang membuat pikiranmu stres. Aku selalu melihatmu merasa lelah dan kecapean akibat pekerjaan ini, dan aku sangat tidak ingin melihatmu seperti itu dihapanku. Itu rasanya seperti, aku adalah seorang badjingan yang tidak dapat melindungi mahkotanya, itu sangat menyakitkan." Jawab Mahkota dengan uraian air mata.

"Lalu bagaimana dengan wanita Itu hah? Kenapa kamu memilihnya begitu saja? Itu mungkin tidak kebetulan bukan?"

"Maksudmu Martha? Dia temanku. Aku sama sekali tidak memiliki hubungan apapun dengannya, hanya sebatas teman biasa sekaligus rekan kerja."

"Kamu bohong!!!" Marisha melemparkan semua barang yang berada di dekatnya seperti orang gila. "Semua perkataanmu bohong. Bukankah kamu masih mencintainya? Bukankah dia mantan terindahmu? Ah sial."

"Sudah berhenti Marisha, kamu bukan lagi anak kecil. Sudah aku bilang hentikan." Teriakan Mahkota kemudian memeluknya dari belakang untuk menenangkannya.

Marisha langsung berhenti kemudian berjalan mengambil buket bunga yang tadi Mahkota bawa.

"Apa? Kamu bilang berhenti? Apa maksud bunga ini? Aku sungguh mengetahuinya, kamu pikir aku tidak tahu, aku sungguh tahu persis. ini? ini adalah bunga kesukaan Martha!!  Kenapa kamu memberikan ini kepadaku?" Teriakan Marisha dengan membantingkan bungga itu cukup keras hingga hancur.

Kali ini, Mahkota benar-benar kesal dengan sikap marisha sekarang, tanpa sadar Mahkota langsung bersikap kasar kepadanya.  " Ya, itu adalah bunga kesukaan Martha. Lalu apa salahnya jika aku memberikan ini padamu? Bukankah itu urusanku? Kamu memang benar, kita memang bukan sepasang kekasih jadi aku tidak perlu lagi mengkhawatirkanmu, dan berpura-puralah tidak pernah terjadi apapun diantara kita."

"Apa, apa maksudmu?" Marisha terlihat kaget. "Apa maksudmu Mahkota. Cepat pergi dari rumahku sekarang."

"Ya, aku akan pergi sekarang. Aku sudah muak melihat sikapmu yang menyebalkan ini. Oh iya hampir lupa, besok datanglah ke kantor tepat waktu. Kamu sudah mulai bekerja produktif tanpa malas-malassan." Mahkota bergegas pergi.

"Dasar berengsek!!!" Marisha berteriak sangat kencang sembari menangis.

'Hari ini aku menyadari, bahwa tidak peduli seberapa banyak amarahmu kepada orang lain, itu akan selalu menjadi yang terburuk jika kamu meluapkannya di waktu yang salah. Kita mungkin tidak akan menyadarinya sekarang atau pun nanti, melainkan setelah orang-orang itu pergi meninggalkan kita. Sebenarnya aku sangat tidak tega dengan semua ini, aku benar-benar sangat menyesal melakukan ini semua terhadap marisha. Namun, Perihal khawatir dan membuat dirinya sadar. Aku harus melakukan semua ini terhadapnnya'.  Hati Mahkota terus menggerutu tanpa henti sembari berjalan keluar.











*****
Untuk kalian yang stay di cerita aku^^
Terimakasih telah bersenang hati membaca cerita aku, tetep stay ya dan support^^ im always happy if you happy^^

Jangan lupa baca kelanjutannya yah^^

Something Normal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang