3. 🍬 Kamu anggap aku apa?

20.3K 3.1K 115
                                    


Pradipta Purnama

Mobilku baru saja berhenti di depan rumah Abah, ketika melihat Mey sibuk ngobrol via telepon di teras. Sesekali dia tertawa, lalu berdiri saat melihat kedatanganku. Dengan tergesa dia membuka pintu pagar dan mengakhiri obrolannya. Kira-kira, dia telponan dengan siapa ya? Ammar?

"Tante ...." Dengan riang dia meraih punggung tangan Mama dan menciumnya. Wajahnya tampak cerah, membuat jantungku berdebar aneh. Mey sangat segar dengan bajunya yang berwarna kuning. Warna kesukaanku.

"Mey ini cantik banget, sih." Mama terlihat tulus memuji dan gadis di depannya itu tersipu-sipu malu.

"Namanya juga cewek, Te."

"Merendah. Umi sudah siap?"

"Sudah, masuk dulu, Te." Tangannya mempersilakan.

Mama mengangguk, berlalu lebih dulu, meninggalkanku yang masih terpaku. Mey memang cantik, dia kopian Karin sebenarnya, hanya mungkin karena usianya lebih muda, jadi terlihat lebih segar dan semangat.

Dia juga lebih humble dan ceria, rasa percaya dirinya terlihat lebih kuat. Aku merasa dia perempuan yang tepat untukku. Akan tetapi, namanya hati gak bisa dipaksakan bukan? Kalau hatinya sudah tertambat lebih dulu pada Ammar, sepupu sahabatku sendiri. Memangnya aku bisa apa?

"Mas Dipta gak masuk?" Pertanyaannya membuyarkan lamunanku.

"Ya masuk, Crit, emang satpam berdiri di sini terus?"

Mey tertawa. "Ya kali aja, nyambi jadi satpam rumahku."

"Gak lah, ngapain? Mending jadi satpam hatimu."

"Mulai, gombale metu." Mey menoyor lenganku dengan tawa geli. "Lupa? Kan sudah janji gak manggil Crit lagi?" protesnya kemudian.

"Lho, iyo lali. Sorry, kebiasaan," kataku santai. Sok santai, padahal jantungku deg-degan gak karuan. "Telponan sama siapa? Gebetan?"

"Kepo!"

Aku memutar bola mata dan memasang wajah malas sembari berjalan meninggalkannya. Mey mengekor di belakangku dengan tawa renyahnya.

"Tadi, teleponan sama Dina. Ada teman yang produknya minta diendorse."

Oh, syukurlah, kirain telponan dengan Ammar. Aku menahan senyum lega dan melirik Mey yang berjalan di sebelahku dengan kedua tangan di belakang.

"Kamu selebgram?"

Mey tertawa, aku memilih duduk di teras, urung masuk ke dalam. Rencanaku hendak merokok satu batang saja sambil menunggu semua siap. Tapi, karena Mey ikut duduk tak jauh dariku, urung aku mengeluarkan rokok dari saku jaket.

"Lumayanlah, setidaknya followerku lebih banyak dari punya Mas," jawabnya sambil mengedikkan bahu. Rasanya gemas, tingkahnya ini benar-benar membuatku harus menahan kesabaran untuk tidak uwel-uwel anak orang.

Tenang Dip, sabar. Nanti kalau sudah halal. Bebas kamu apa-apain. Eh, berharap halal?

"Iya deh yang follower-nya banyak," sindirku.

Mey tertawa. "Selebgram abal-abal. Ya, hitung-hitung bantu temen promosi aja Mas, memanfaatkan follower."

"Ya, bagus dong. Artinya memanfaatkan media sosial dengan baik. Dapat cuan juga kan?"

"Lumayan. By the way, aku sudah follow Mas Dipta tapi belum di-approve. Sombong banget, Anda Pak. Whatsapp semalam juga gak dibalas. Jangan-jangan beneran kecapean gara-gara aku ya?"

Taste! (Spin OFF JPB) [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang