5. 🍬 Muse

18K 3K 310
                                    

Pradipta Purnama

"Siapa saja yang datang?" tanyaku saat Mey sudah selesai menghubungi teman-temannya. Aku melirik Bram yang tengah menemani Karin makan, seolah memberi kami kesempatan untuk ngobrol berdua.

"Biasalah, geng rempong. Dina, Mita, ada sekitar tujuh orang Mas. Gak papa kan?"

"Gak papa, santai. Anak-anak di belakang lagi masak tambahan menu. Terima kasih banyak ya Mey. Aku juga punya gambaran seperti itu. Hanya saja, untuk menekan biaya, rencananya jadi satu saja dengan dokumentasi grand launching, menggunakan jasa profesional."

Mey mencibir dengan melipat kedua tangannya. "Padahal punya adik selebgram gak dimanfaatkan."

Adik banget ya, Mey? Dadaku rasanya nyeri ketika dia menegaskan posisinya. Sudah jelas sekali kalau dia hanya memosisikan diri sebagai seorang adik. Sebuah fakta yang membuatku harus tetap sadar diri dan tidak melangkah terlalu jauh.

"Takut kamu minta bayaran dolar soalnya," selorohku enteng, mencoba tetap bersikap santai.

Mey terbahak. Sambil menunggu teman-temannya datang, dia tak lepas dari sisiku. Bertanya tentang beberapa hal yang berkaitan dengan fotografi, lalu mengambil gambar dengan ponselnya sendiri. Kelar urusan foto, aku melepas baterai kamera dan men-charge lebih dulu supaya nanti bisa lebih tahan lama. Beruntung, tadi aku juga membawa baterai cadangan.

Tiga puluh menit kemudian, teman-temannya datang, berbarengan dengan Sinta, salah satu pegawaiku yang membawa seragam restoran. Aku meminta semua berkumpul lebih dulu di joglo utama, mendengarkan sekali lagi pengarahan dari Mey. Pembagian peran, tugas, pengambilan sudut-sudut gambar. Bahkan ending dari cerita tentang Sugeng Rawuh.

Sungguh, hari ini aku dibuatnya takjub. Mey menjelaskan dengan sangat luwes dan mudah dipahami. Semua mengangguk paham dan mulai bersiap. Beberapa kali aku melihat Bram dan Karin saling senggol. Sepertinya, mereka bisa melihat wajahku yang terpesona anak kecil. Sialan!

"Aku siap." Mey yang tadi berlalu ke toilet karena berganti pakaian dengan kebaya lurik sudah kembali bersama Dina. Dia berpasangan dengan Hendro. Mereka serasi dengan seragam restoran Sugeng Rawuh.

Aku tertegun beberapa saat. Mey tampak cantik, wajahnya sudah tersapu make up tipis. Bibirnya lebih mengkilap. Sialan! Jantungku berdebar sangat kencang.

"Harusnya Mas Dipta yang pakai ini, kan biar sepasang sama Mbak Mey," protes Hendro sungkan.

"Terus, kamu yang ambil video, gitu? Ajur kabeh, Ndro."

Semua yang ada di joglo tertawa, sementara Hendro hanya meringis sungkan. Sekuat hati, aku menahan diri untuk tetap terlihat tenang dengan kamera di tangan. Harus fokus Dipta. Jangan sampai tremor. GAK LUCU.

"Aman?" Bram menepuk pundakku saat menjauh menyiapkan kamera.

"Adikmu bikin gak aman."

Bram terbahak, sekali lagi menepuk pundakku lalu menggandeng Karin keluar joglo, bersiap di depan. Meski serba dadakan, syukurlah semua berjalan dengan lancar. Baterai kamera aman, Mey juga sangat luwes menjadi tokoh sentral dalam video yang kuambil. Sangat totalitas berperan sebagai pelayan restoran.

Tampak anggun dengan kebaya lurik dan jilbab warna coklat susu. Gerakan tangannya, gerakan bibirnya saat mempersilahkan dan menjelaskan pada tamu terlihat sangat natural. Meski nanti, suaranya tak terdengar karena tertutup musik latar belakang. Tapi dia berakting sangat baik.

Tepat jam tiga sore, semua selesai. Aku mengucapkan banyak terima kasih pada pegawai dan teman-teman Meysa, termasuk juga pada Bram dan Karin. Kegiatan hari ini sangat memuaskan. Aku menjamu mereka dengan makan bersama, menghabiskan menu yang tadi menjadi bagian dari properti.

Taste! (Spin OFF JPB) [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang