❝The weather outside's changing❞
· · ────── ♪ ♫ ♪ ────── · ·
Sirius berada di kediaman Potter. Ia tengah tidur di kamar yang biasa ia tempati dahulu saat berumur enam belas tahun. Sirius merindukan perasaan ini. Tapi ia tidak bisa terlalu lama larut dalam nostalgianya itu.
Pasukan Pangeran Kegelapan memang belum kuat tetapi, sudah ada berita bahwa satu muggle dibunuh.
Marlene McKinnon mengatakan jika para Pelahap Maut tidak seharusnya menghabisi manusia biasa karena mereka adalah orang luar. Rubeus Hagrid setuju dan mengatakan hal itu tidak masuk akal. Lily Evans mengira para Pelahap Maut itu membalaskan dendam atas kematian penyihir yang dieksekusi pada abad ke enam belas. Sedangkan James Potter berpendapat perkumpulan topeng itu hanya iseng. Dan Dumbledore mengingatkan kepada seluruh anggota Orde untuk waspada, karena bisa saja pembunuhan di dunia manusia adalah alarm peringatan.
Tapi yang menjadi masalah bagi Sirius Black bukan alasan para Pelahap Maut itu memberantai, namun tempat kejadian perkaranya. Korban tewas ada di apartemen [Nama]. Pelahap Maut sempat berada satu atap dengannya. Sirius lantas mengirim surat pada gadis itu setelah membaca Daily Prophet kemarin.
Di luar pun sedang mendung. Semua penyihir tahu cuaca buruk di tengah berita buruk bisa membawa malapetaka. Sirius cemas bukan main. Ia berharap tidak ada perkumpulan Orde mendadak karena Sirius takut mereka akan membahas hal penting.
Sirius semakin dekat pada [Nama]. Hubungan mereka berjalan lancar. Mereka seringkali bertemu untuk makan siang atau makan malam. Dua insan ini juga berbalas surat. Sirius jadi tahu rasanya menunggu-nunggu balasan itu menyebalkan. Apalagi saat ini.
"Padfoot, I called you a hundred times that supper is ready downstairs," James membuka pintu tanpa permisi.
Sirius tak bergeming membuat James cemas. Iris abu-abu sahabatnya tak lepas dari langit-langit. Dengan resah, James mengikuti arah mata Sirius, memeriksa takut jika ada yang berbahaya di atas sana.
"Pad, kau baik-baik saja?" James duduk di tepi ranjang sedang mengamati sahabatnya masih dengan perasaan cemas. Sirius merasakan kasur yang ia tiduri bergerak.
"I'm in love, Prongs."
"You in what?!"
Sirius hanya tersenyum miring. Pemuda ini yakin dengan perasaannya kali ini. Ia tidak akan lupa bagaimana waktu berhenti ketika melihat [Nama], sinar surya menerpa helai rambutnya, dan bagaimana Sirius selalu ingin melihat [Nama].
Sirius terkejut karena akal dan nuraninya padu. Mereka kompak menyebut satu nama dengan fasih yaitu [Nama]. Melafalkannya seperti lagu cinta meskipun Sirius buta nada.
"Pad. Padfoot. Paddy!"
"Prongs," Sirius balas memanggil.
"Kau menakutiku. Demi Godric! Kau lebih mengerikan dariku saat jatuh cinta," ujar James cepat.
"Hehehe..." Hanya itu tanggapan Sirius Black.
"Apakah gadis yang waktu itu?" Selidik James Potter.
James masih ingat betapa merepotkan Sirius setelah libur Natal tahun ke lima di Hogwarts. James sampai harus memaksa Sirius jujur dengan berbagai cara. Dan Sirius tanpa diduga malah merona dan menceritakan semuanya. Remus sampai geleng-geleng kepala. Tapi James maklum, karena ia tahu rasanya.
"Betul sekali, James."
Sirius berdiri. Begitupula James.
Sahabat karib Sirius itu mengira, pemuda yang tengah kasmaran ini akan turun ke ruang makan. Nyatanya dia menepuk pundak James Potter sekali namun pasti lalu ber-apparate, meninggalkan James terperangah di kamar sendirian.
"Bloody hell. What about the supper?!"
Itu hal terakhir yang Sirius Black dengar walau samar sebelum berpindah tempat.
Pemuda ini muncul di tengah gang sempit, membuat bulu-bulu seekor kucing berdiri tegang karena terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Ia berjalan sambil mengumpat pelan. Sirius meninggalkan jaket kulitnya di rumah James.
Sirius tak bisa menunggu lagi. Ia terlalu gelisah, perutnya sampai mulas. Sirius perlu bertemu [Nama] untuk menilik keadaannya.
Kaki Sirius dengan cepat menuju flat [Nama]. Dengan langkah kakinya yang lebar, tidak butuh waktu lama baginya untuk sampai.
Sirius tidak paham dengan dunia muggle, saat ia mengetuk pintu tidak ada jawaban apapun. Ia menoleh ke sisi kanannya, terdapat banyak tombol dengan berbagai nama. Lily dan Remus pernah mengatakan suatu hal tentang bel rumah.
Sirius memencet salah satunya yang terdapat tulisan [Nama]. Tidak hanya sekali, ia menekannya berkali-kali. Mengakibatkan seorang wanita tua gempal dengan hidung mancung dan pipi merah membuka pintu kasar. Wajahnya terlihat ramah jika tidak berkerut marah pada Sirius. Seingat Sirius saat terakhir bertemu [Nama], pemudi itu tidak tampak seperti ini.
"Apa masalahmu, Tuan? Apa kau harus membunyikan bel ribuan kali?"
"Maafkan aku, Nyonya. Aku mencari seseorang," Sirius memasang wajah terbaiknya. Walau tubuhnya gemetar karena suhu rendah, ia berperilaku sopan agar wanita ini tidak memarahinya lebih parah lagi.
Wanita itu memundurkan badannya, terpesona akan tata krama Sirius. "Pria tampan. Siapa yang kau cari?"
"Seseorang bernama [Nama]."
"Ooh la laa...," gumam wanita itu terhibur.
"Ah! Nyonya Hudson. Anda sudah membukakan pintu."
Sirius girang saat mendengar suara favoritnya. Ia mengintip ke dalam untuk melihat sosok [Nama]. Nyonya Hudson menyeringai usil melihat tingkah Sirius, begitu jelas seperti buku anak-anak yang terbuka.
"Lain kali turunlah dengan cepat, Nona," nasihat Nyonya Hudson. Ia menepuk pundak [Nama] pelan lalu berkedip pada Sirius sekali.
"Maaf merepotkan anda, Nyonya Hudson," ucap [Nama] sungkan. Nyonya Hudson membalas dengan lambaian tangan enteng.
"Hai!" Sapa Sirius.
"Ini sudah malam," kata [Nama] gelisah. "Kau tidak memakai baju hangat?"
Sirius Black mencoba memahami situasi. Seharusnya Sirius yang khawatir terhadap [Nama], namun justru sebaliknya.
"Maka ijinkan aku masuk, [Nama]."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 𝐀𝐅𝐓𝐄𝐑𝐆𝐋𝐎𝐖 | Sirius Black
Fanfiction❝I will hold on to the afterglow.❞ Selama hidupnya Sirius Black kerap merasakan renjana. Tapi yang satu ini... entah rindu entah mabuk cinta. ⌗ Sirius Black x FemaleMuggle!Reader Marauders' era 16+