01

2.7K 363 25
                                    

LALISA, keturunan Jepang-Thailand yang besar di Korea. Terhitung sudah tujuh belas tahun ia tinggal di Korea dan kini umurnya sudah menginjak dua puluh tiga.

Dulu waktu kecil, ia pernah tinggal di Thailand. Cuma saat bayi sampai umur enam tahun saja.

Tapi karena itu, Lisa punya teman. Namanya Chittaphon, panggilannya Ten.

Ten lebih tua satu tahun di atasnya. Namun waktu kecil, Lisa merasa ia dan Ten tidak ada bedanya. Maksudnya, sama-sama kekanakan--mungkin karena faktor masih kecil juga.

Bahkan Lisa pernah mengira Ten itu saudara kembarnya, saking seringnya mereka bersama.

Sekarang, Lisa dan Ten bagai orang asing.

Penyebabnya setelah Lisa sekeluarga pindah ke Korea, mereka tidak pernah lagi bertemu. Walau Lisa beberapa kali kembali ke Thailand, ia tidak menemui Ten sama sekali.

Lisa juga tidak punya niat sedikit pun untuk mencari Ten di social media.

Buat apa?

Bagi Lisa, Ten cuma teman masa kecil. Namun bukan berarti saat dewasa Ten masih temannya.

Iya, Lisa menganggap Ten dan segala cerita mereka dahulu adalah kenangan.

Namun hari ini Lisa harus kembali berinteraksi dengan Ten. Ibunya memberikan nomor Ten dan menyuruh Lisa agar berbincang dengan pemuda tersebut.

Ingat, menyuruh.

Lisa mana bisa menolak, walau inginnya memang begitu.

Di pikiran Lisa pasti mereka akan sangat canggung. Mungkin ia bisa sok akrab, tapi itu memalukan. Lisa juga tidak yakin dirinya mampu bersikap bebas seolah dengan teman sendiri.

Ya ... walau Ten itu temannya, tetap saja mereka cuma teman masa kecil!

Sekarang Lisa menatap ponselnya ragu. Tapi karena ibunya terus melotot, Lisa membuka ruang pesan.

|Hai?

Mata bulat Lisa agak membesar setelah melihat pesannya dibaca. Secepat itu!

Siapa?|

|Ini Lalisa
|Teman kamu waktu kecil, hehe

Haha, hehe, Lisa malah semakin canggung karena ketikannya sendiri.

"Lisa, sudah?"

Lisa mengerang kesal. Ini pertanyaan ke sekian dalam dua menit terakhir.

"Sudah aku kirimi pesan, Mom!"

Lisa menunjukkan isi percakapan pada ibunya. Kemudian kesal mendengkus begitu ibunya tersenyum lebar.

"Baik-baik dengan Ten, ya!" seru ibunya lalu keluar kamar.

Lisa memijat pelipis kepalanya. Cuma karena Ten ibunya harus repot-repot mampir ke kamar.

Memangnya apa yang penting, sih!?

Suara dering telepon mengalihkan perhatian Lisa. Kemudian ia hampir melempar ponselnya saat nama Ten yang muncul di layar.

Lisa menunggu beberapa saat. Pikirnya Ten hanya salah tekan dan berakhir menelepon.

Tapi salah!

Sudah setengah menit berlalu dan Ten belum mematikan telepon. Membuat Lisa segera mengangkat sebelum dikira tidak sopan.

"Um, halo?" salam Lisa ragu.

"Halo? Ini benar-benar Lisa?"

Lisa meringis mendengar nada Ten yang agak berlebihan.

Di sini, Lisa menahan diri agar tidak terdengar canggung. Namun Ten malah bersikap seolah mereka masih sedekat saat kecil.

Atau jangan-jangan cuma Lisa yang merasa canggung?

Lisa menelan ludah, mempersiapkan diri untuk berbicara bahasa neneknya. Sudah lama ia tidak ke Thailand, jadi rasanya agak aneh.

"Iya, ini Lalisa."

Ten tertawa pelan di seberang.

"Aku tidak menyangka Lisa mengirimiku pesan lebih dahulu. Suaramu berubah, Lice."

Lisa mengerutkan dahi, lalu ia memilih menanggapi kalimat terakhir. "Tentu saja, sudah tujuh belas tahun berlalu."

Anehnya Lisa kembali merasa canggung.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang terdengar, kemungkinan Ten yang menyahut keras.

Mungkin Ten menelepon saat bersama temannya, pikir Lisa.

"Aku harus pergi, Lice. Jemput aku besok di bandara, pukul sembilan pagi. Jangan sampai lupa, ya. Nanti aku jadi gelandangan, tidak cocok dengan wajah tampanku."

Lisa bengong. Otaknya mencerna ucapan Ten dengan lamban.

Bandara?

Besok?

Maksudnya Ten akan ke Korea?

"Tu-"

"Senang mendengar suaramu lagi, Lice. Sampai jumpa besok!"

Lisa membeku. Bahkan saat suara sambungan telepon telah dimatikan terdengar.

"Hih, suka seenaknya saja. Kebiasaan." Gerutu Lisa lalu membaringkan diri di kasur.

"Wajah tampan apanya, pasti tak berubah banyak."

Lisa terus menggerutu sambil meremat bantalnya.

"Tapi suaranya juga berubah."

Ia melamun menatap langit-langit kamarnya.

"Dari suaranya memang tipe suara orang tampan, sih."

Setelah menyadari perkataan yang baru saja keluar, Lisa menggigit bantal dengan gemas. Tak lupa kedua pipi yang sedikit memanas.

[tbc.]

]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

03/01

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

03/01

nanaourbunny

[2] Childhood FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang