Tamu Penting

4.4K 91 18
                                    

Aku melongok ke dalam ruang kerja ayah, dan seperti yang sudah kuduga sebelumnya beliau sedang menekuri tumpukan berkas di hadapannya sambil bicara di telepon. Aku menggelengkan kepala melihatnya, sebut aku gila kerja dan lihat dari siapa aku mendapatkannya.  Aku tersenyum, sadar baru kali ini mengakui bahwa kami berdua sama-sama pekerja keras.

Tidak ingin mengganggu apapun yang sedang dikerjakan beliau, aku berniat mencari ibuku. Sudah saatnya aku merecokinya lagi, membuatnya gerah di ruang tengah tadi rasanya masih belum cukup. Tapi tepat pada saat itu ayah melambai ke arahku, menyuruh masuk sembari memberi isyarat kalau sebentar lagi dia sudah selesai.

Kupandangi sosok di depanku, tubuhnya masih kelihatan tegap, wajahnya juga masih tampan meski mulai dihiasi keriput dan rambutnya tak lagi selebat dan sehitam dulu. Kenapa baru sekarang aku menyadari bahwa beliau tidak akan muda dan kuat selamanya?

“Urusan ini ternyata lebih ruwet dari yang kusangka...” Ayah menggerutu sembari menaruh gagang telepon. Beliau memandang ke arahku dengan ragu. “Mungkin kita harus menunda pembicaraan ini, ada beberapa hal lagi yang harus ayah periksa.”

Aku mengerjap, lagi-lagi aku melamun, keluhku dalam hati. Aku mengangkat bahu, berpura-pura tidak peduli. “Aku akan menemui ibu dan ayah sebaiknya tidak terlambat muncul di ruang makan. Kecuali ayah mau kuping ayah merah kena omel ibu.”

Ayah tersenyum kecil yang menurutku sedikit dipaksakan. Beliau mengusap-usap bagian depan kemejanya, tampak bimbang. “Ricky...., jangan terlalu keras pada ibumu.”

Aku terdiam mendengar komentar yang membingungkan tersebut. Tapi beliau sudah kembali menyibukkan diri, dan aku curiga dia sengaja melakukannya untuk menghindar. Sudahlah, itu semua bukan urusanku.

***

Ruang tengah masih seramai kutinggalkan tadi, Tiara duduk bersilang kaki. Orang yang tidak begitu mengenalnya akan menyangka dia sedang duduk santai. Tapi aku tahu dari ketukan jemarinya yang teratur, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

Mengikuti arah pandangnya, aku terperangah. Tubuhku mendadak panas dingin dibuatnya, denyut jantungku menjadi tidak menentu. Duduk dengan manisnya di rangkulan lengan ibuku, gadis yang menghantui mimpiku selama bertahun-tahun. Dia telah berubah menjadi seorang wanita dewasa yang menawan, menggantikan sosok remaja manis yang lugu seperti yang kuingat. Selebihnya, dia masih seperti sebelumnya.

Senyumnya masih semanis dulu, suaranya masih terdengar seperti denting lonceng di telingaku.  Dan tawanya, membuat jantungku melonjak dari tempatnya. “Anya......, kok kamu ada disini?”

Bodoh! Seketika itu langsung memaki diriku sendiri. Dari sekian banyak sapaan yang bisa kulontarkan, aku malah memilih kalimat itu. Ditambah lagi nada menuduh dalam suaraku, postur tubuhku yang berdiri kaku, maka lengkaplah sudah ketololanku. Sama sekali bukan kesan pertama yang ingin kutampilkan padanya.

Anya meringis ke arahku, menampakkan giginya yang gingsul. “Hi..., Ricky kan? Ya ampuunnnn, aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Mama cuman minta aku dateng ke tempat temennya, tanpa hal lainnya. Tahunya temen mamaku itu mamanya kamu.”

Jadi tamu yang ditunggu ibuku itu adalah Anya? Astaga, aku ternganga mendengarnya. Aku menoleh ke arah ibu yang sedang memperhatikan kami. Kutelan gumpalan besar yang mengganjal di tenggorokanku. “Jadi, kalian sudah kenal?”

“Kami satu SMA tapi nggak pernah satu kelas, Tante. Udah lama ya kita nggak pernah ketemu lagi?” Anya tersenyum padaku, yang hanya bisa kubalas dengan anggukan kaku.

Ibuku kini menunjukkan rasa tertarik yang kentara ke arah kami berdua. Binar di matanya tidak luput dari perhatianku. Saat keping demi keping pemahaman merasuk ke benakku, aku merasakan kesulitan yang luar biasa untuk menarik nafas. Takut membiarkan harapanku membubung tinggi, dan jika ternyata itu salah, maka rasa sakitnya akan berlipat ganda.

“Aku udah kenalan sama saudara-saudaramu, juga pacar kamu.” Entah ekspresi apa yang kutunjukkan sehingga membuat Anya kembali meringis ke arahku. Aku sudah membuka mulutku untuk membantah ucapannya yang terakhir. Saat ini, aku tidak punya pacar, tidak terikat dengan siapapun. Masih sebebas dulu saat dia pergi melanjutkan studi ke luar negeri.

Sebelah tangan mungil menyelip ke dalam genggamanku. Aku menoleh, kaget mendapati Tiara kini berdiri merapat di sampingku. Aku berusaha menyentakkan tangannya lepas dari genggamanku, terkejut mendapati dia menahannya dengan kuat. Ada rasa panik, juga kepasrahan di matanya yang sempat kutangkap sebelum dia berpaling dan tersenyum ke arah Anya.

“Jadi kalian teman ya? Kapan-kapan, ceritain ke aku dong gimana Ricky waktu SMA dulu. Dia paling pelit soal masa lalunya, mungkin takut aku bakal mundur teratur waktu tahu seberapa banyak mantannya.”

Semua di ruangan itu menertawakan lelucon konyol yang dibuat Tiara. Hanya aku sendiri yang tidak bisa ikut tertawa, wajahku memberengut kesal. Amarah mengendap di hatiku, mencengkeram begitu kuat hingga nafasku sesak. Kepalaku sakit seperti dihantam godam, berdenyut hingga ke bola mataku.

Siapa yang harus kusalahkan untuk situasi ini? Tidak ada yang pantas kujadikan kambing hitam atas kebodohanku sendiri. Aku sendirilah yang meminta Tiara datang kemari sebagai kekasihku. Menjadikannya tameng dari cecaran ibu, agar aku punya ruang mendekati Anya, yang kini justru menjadikan dinding pemisah antara aku dan gadis pujaanku. Itu membuatku kesal bukan kepalang.

***

Firasatku benar, ini bukan ide yang baik. Lebih dari sekedar buruk, tapi bencana. Sejak pertama kali gadis itu datang, aku sudah tahu dia pasti orang yang ingin dijodohkan dengan Pak Ricky. Melihatnya, aku ragu ada pria yang sanggup menolaknya. Selain cantik, dia punya aura yang membuat orang lain merasa nyaman di dekatnya. Dengan rambut yang dipotong pendek di bawah telinganya, celana capri dan sweter rajut longgar yang dikenakannya sekarang, aku yakin keanggunannya sama dengan dia mengenakan gaun malam dan rambut ditata apik.

Dan petaka itu muncul seiring kehadiran Pak Ricky di ruangan ini. Hanya dari cara Pak Ricky memandangnya, aku tahu dialah gadis pujaannya. Aku heran tidak ada yang menyadarinya selain aku. Belum pernah aku melihat dia memandang perempuan manapun dengan sorot mendamba seperti itu. Membuat  dadaku terasa ngilu, seandainya ada yang menatapku dengan pandangan memuja seperti itu, aku rela menyerahkan seluruh hidupku untuknya.

Pria malang, sandiwaranya berubah menjadi perangkap baginya. Tapi aku tidak bisa membiarkan dia membongkar rahasia ini sekarang. Itu akan menghancurkannya, harga dirinya, juga kepercayaan keluarganya akan musnah seketika itu juga. Dan itu akan membuat gadis pujaannya kabur dalam sekejap. Siapa yang bisa mempercayai seseorang yang jelas-jelas adalah pembohong?

Tidak, aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Aku menggenggam tangannya dengan erat, sebisa mungkin membuatnya menyadari kehadiranku. Dan semoga saja itu bisa membuatnya mengingat bahwa saat ini aku adalah kekasihnya. Semoga saja dia sadar bahwa untuk mempertahankan kepercayaan keluarganya, kami harus meneruskan sandiwara ini, minimal untuk malam ini.

TBC.

For all, maaf aku baru bisa upload segini. Kerjaan lagi numpuk, mudah-mudahan minggu depan aku punya bisa mencuri waktu buat lanjutin cerita ini. Buat semuanya, terimakasih banyak. Seperti biasa masukan dari kalian selalu aku tunggu.

Happy new year, semoga tahun depan bisa lebih bermakna......


Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang