Mediator

3.8K 122 35
                                    

Baru kali ini aku masuk kantor dengan perasaan tidak pasti. Tidak yakin dengan apa yang akan kuhadapi. Makanya aku sengaja datang lebih pagi dari biasa, berharap berada di ruang kerja yang sudah familier denganku akan membantu. Tapi bukannya ketenangan yang kudapatkan justru telepon untuk datang ke ruang direktur. Duuuhhhh, ada apa lagi ini.

Setengah hati aku melangkah menyusuri karpet tebal yang meredam bunyi langkahku. Berharap ada yang mampu meredam debar jantungku yang tak menentu. Aku sangat ingin pemanggilanku ini tidak berhubungan dengan kunjungan makan malamku kemarin. Tapi rasanya itu tidak mungkin, untuk apa seorang direktur memanggil sekretaris selevel aku menghadap kalau hanya urusan pekerjaan. Semoga saja aku tidak dipecat, saat ini bukan waktu yang tepat bagiku untuk menganggur.

“Ada apa sih, Jen?” Aku berusaha memasang tampang bingung, bukannya gelisah. Jenny, sang sekretaris direktur hanya menggeleng. Dia mengetuk pintu kayu besar yang menuju ruang kerja Direktur, terdengan suara berat menyuruh kami masuk. Setelah mengantarku ke dalam dia langsung keluar, meninggalkanku berdiri kebingungan seperti orang yang tersesat di pasar malam.

Pak Agung Pratama mengangkat wajahnya dari tumpukan berkas yang sedang dia tanda tangani. Memberi isyarat agar aku duduk di sofa bukannya di kursi kulit di depan meja kerjanya. Aku ragu-ragu sejenak, akhirnya aku memilih duduk membelakangi dinding kaca yang menampilkan pemandangan area pelataran kantor. Keringat dingin membasahi telapak tanganku, aku menyapunya dengan pura-pura merapikan rokku. Senyum ramah beliau sedikitpun tidak mengurangi keresahan yang kurasakan.

“Kamu mau minum apa?” Sekuat tenaga aku menahan kerutan yang siap muncul di keningku. Aku menggeleng sambil menggumamkan terima kasih, tidak bisa menebak jalan pikiran Bos Besarku ini. Beliau mengangkat bahu, tersenyum geli seolah ada hal lucu yang terjadi.

“Jangan tegang begitu.....” Senyum di bibirnya sekarang berubah menjadi tawa. Aku semakin gelisah karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Situasi ini tidak ada dalam bayanganku sebelumnya. Dalam sedikit kesempatanku melihat Beliau, selalu dalam situasi serius. Melihat beliau santai itu hanya saat pesta kantor.

“Aku membuatmu bingung, ya? Aku memanggilmu bukan untuk urusan kantor, itu benar dan aku yakin kau pasti sudah bisa menebaknya.” Ucap beliau dengan nada yang berubah serius. Inilah saatnya, gumamku dalam hati dengan jantung yang berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya. Beliau berdehem, “Atas nama keluargaku, kami minta maaf  untuk...., malam itu. Kau tamu di rumah kami, seharusunya kami menyambutmu dengan lebih baik. Apalagi kau pasangan Ricky.... saat itu.”

Duuh, lelucon apa lagi ini. Ingin sekali aku membenamkan kepalaku ke bantalan sofa dan mengerang keras. Sangat tidak enak rasanya diingatkan dengan sandiwara yang kuperankan.  Terlebih lagi orang itu adalah  calon mertuaku, jika aku mengikuti skenario gila itu. Tapi dia  adalah direktur perusahaanku, Bos Besarku, tidak mungkin aku mengabaikan fakta itu. Dan saat ini aku berada di kantor, saat jam kerja lagi.

“Tidak apa-apa kok, Pak. Saya maklum dengan kondisi saat itu.” Aku mencoba tersenyum semanis mungkin. Lagipula, aku memang mengatakan yang sebenarnya. Seperti yang kukatakan pada Pak Ricky, akan lebih menolong bagiku jika kami mengatakan sesuatu yang sedekat mungkin dengan kenyataan yang ada.

“Aku tidak ingin kau beranggapan keluarga kami adalah orang yang tidak bisa menghormati tamu. Kami juga bukan orang picik yang memandang orang berdasar status sosialnya saja.”

Aku menahan nafas, ada yang aneh di sini. Untuk apa orang sekelas beliau mau repot-repot untuk hal remeh seperti ini. “Pak, untuk apa sebenarnya Bapak memanggil saya kemari?”

Dengan berani aku memandang tepat ke mata beliau. Meski dari balik kacamata, aku bisa melihat bola mata beliau melebar, meski hanya sebentar. Yah, bukan cuma aku yang bisa dibuat kaget dengan situasi ini.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang