Jalan Keluar

4.4K 105 35
                                    

“Padahal mama pengen banget bisa datang, tapi mendadak mesti ke Bandung karena oma sakit. Jadinya saya yang diminta gantiin mama kemari.” Samar-samar aku mendengar Anya mengoceh di sampingku. Entah bagaimana caranya aku bisa sampai di meja makan. Rasanya aku sudah mati rasa, tubuhku hanyalah cangkang kosong tanpa jiwa. Ragaku berada disini tapi jiwaku melayang entah kemana. Semua yang terjadi di sekelilingku seolah adegan film tanpa makna.

Saat ini aku sangat ingin menjauh dari mereka semua, pergi ke tempat dimana aku bisa menumpahkan semua kemarahanku. Memuaskan diri dengan mengutuk kebodohanku, meski itu akan semakin menyakitiku.

“Abel, jangan kurang ajar begitu sama Tante Tiara.” Mencoba mengacuhkan nyeri di kepalaku, aku menoleh ke samping. Kulihat Abel sedang mengusap pipi Tiara, menyentuh dengan tangannya yang kecil.

Tiara tersenyum menenangkan ke arah kakakku. Dia menggerakkan dagunya ke arah piring keponakanku itu. Dengan ragu bocah kecil itu memasukkan sesendok sayur kemulutnya. Mengunyahnya pelan, dan saat makanan itu meluncur di kerongkongannya, kakakku bertanya dengan takjub. “Bagaimana kau bisa membuatnya menelan sayuran itu?”

Tiara tersenyum kecil. Sama sekali tidak mendengar jawabannya, aku menunduk ke arah piringku sendiri. Mengernyit menemukan disana sudah tersedia semua jenis makanan kesukaanku. Kapan aku mengambil semua makanan ini?

“Cobalah untuk menghabiskan semuanya, tolong.” Tiara bergumam dari sisi kiriku sambil sedikit mencondongkan tubuhnya ke araku. Sangat pelan hingga hanya aku yang bisa mendengarnya. Rupanya ini semua ulah dia. Aku menatap berkeliling, semua orang sedang asyik menikmati makanannya masing-masing. Baru aku sadar kalau aku duduk di apit oleh Tiara dan Anya. Di seberang sana duduk kedua kakakku beserta suaminya masing-masing. Di kepala meja, ayah duduk sebagai kepala keluarga dan ibuku di sisi yang berseberangan dengannya, dekat dengan Anya. Pasti ibu yang mengatur semua ini. aku melirik ke arah Tiara, gadis itu sedang menggumamkan sesuatu ke arah Abel.

Makan, perutku memang harus diisi sesuatu, meski aku tidak yakin bisa memasukkan makanan tanpa memuntahkannya. Mulutku terasa pahit oleh ironi yang harus kuhadapi. Kegalauan yang kuciptakan sendiri.

Aku membiarkan semua berlalu di sekitarku tanpa berusaha ambil bagian di dalamnya. Terserah apa yang dipikirkan mereka semua, aku sama sekali tidak peduli. Aku hanya ingin pergi dari sini secepatnya.

 ***

Ini buruk, sangat buruk. Selama makan malam berlangsung dia tidak mengucapkan sepatah katapun, mukanya ditekuk, persis gumpalan kertas kumal di tempat sampah. Sangat tidak mengenakkan dipandang mata. Betapa ingin aku mengguncang tubuhnya agar tidak bersikap seperti ini. Tidak ada gunanya merajuk, hanya membuat suasana tambah kacau. Dan jujur saja, karena belum pernah melihatnya berubah menjadi anak kecil begini, aku jadi bingung setengah mati bagaimana cara menghadapinya. Kalau bisa memilih, aku lebih memilih saat dia menjadi bos pemarah yang tidak sabaran. Yang itu, aku sanggup menghadapinya.

Bukan aku saja yang menyadari perubahan suasana hatinya. Ibunya memilih kata-katanya dengan hati-hati, meski beberapakali terlihat ingin mengucapkan sesuatu, selalu batal setelah melihat wajah keruh puteranya itu. Kedua kakaknya juga hanya saling pandang tanpa bicara sepatah kata. Sedang ayahnya, Bos Besarku, berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dan itu membuatku semakin paham, rupanya Pak Ricky bukan hanya si bungsu dalam keluarga ini. Tapi dia adalah penguasa disini, semua hal di keluarga ini berputar di sekelilingnya.

Aku melihat Anya beberapakali melirik ke arahnya sambil mengernyit. Mungkin dia bingung dengan sikap Pak Ricky. Harusnya dia sadar kalau tingkahnya itu bisa membuat Anya illfeel. Apa semua orang bisa berubah bodoh kalau sudah berurusan dengan yang namanya cinta? Syukurlah ada Abel yang bisa membuatku mengalihkan sedikit perhatianku. Gadis kecil itu begitu manis, dan di dekatnya aku tidak merasa menjadi objek penelitian. Meskipun mereka menerimaku dengan ramah, aku tidak merasa sepenuhnya nyaman. Setiap gerak gerikku diamati dengan cermat, mempelajari reaksiku, seperti aku ini tikus percobaan di lab.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang