Merangkai cerita.

5.2K 95 19
                                    

Aku melangkah memasuki ruang kantorku tanpa mengangkat kepala sedikitpun, terus asyik berkutat dengan Blackberryku. Tidak juga menyapa Tiara, sekretaris yang sekarang berstatus sebagai pacarku, dalam tanda kutip. Dia juga begitu, setelah mengetahui bahwa yang datang itu adalah aku, gadis itu terus saja dengan kesibukannya. Hanya seulas senyum kecil yang diberikannya padaku.

Sikapnya padaku tidak berubah sedikitpun, masih seperti sebelum aku menodongnya berpura-pura menjadi kekasihku hanya untuk mengelabui keluargaku. Dan jujur saja, itu membuatku lega. Setiap kali mengingatnya, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak meringis. Ada setitik rasa bersalah yang menggelitik.

Aku tidak menyesal telah memanipulasi Tiara untuk mengikuti keinginan gilaku. Secara tidak sengaja aku mendengar pembicaraannya dengan seseorang yang menyebutkan bahwa dia sedang butuh uang. Itulah sebabnya aku menawarkan imbalan yang cukup besar untuknya. Dan sebagai tambahan, menekannya dengan kemungkinan menjadi seorang pengangguran yang pasti merupakan mimpi buruk baginya, mengingat kondisi keuangannya sekarang. Sebagai seorang pebisnis, menurutku wajar menggunakan segala cara yang kita miliki untuk mendapat keuntungan. Memangnya siapa yang berani menuntutku atas pelanggaran HAM hanya karena apa yang kulakukan pada Tiara.

Tapi seumur hidup, aku belum pernah berbohong pada ibuku. Sejak masih mengenakan popok, aku telah diajarkan berkata jujur. Jadi seburuk apapun kelakuanku, aku harus berani menghadapi konsekuensinya. Tapi keluarga adalah kekuatan terbesarku, mereka selalu bersamaku. Omelan panjang ibuku selalu diakhiri dengan pelukan hangatnya, dan nasehat bijak yang diberikan ayah terus kuingat sampai sekarang. Dan kakakku, rasanya mereka menjalani peran kakak dengan sangat serius.

Berbohong pada mereka seperti jamur yang tumbuh di kaki. Selain memalukan juga sangat mengganggu. Tapi apa daya, aku tidak punya pilihan lain. Lagipula semua ini murni ketidaksengajaan. Aku mendesah mengingat awal mula kebohonganku.

FLASH BACK

Aku memandang jalanan padat di bawah sana melalui  jendela kamarku. Cahaya lampu jalanan berbaur dengan sorot lampu kendaraan yang lalu lalang. Kusentuh kaca jendela yang dingin sebelum berbalik untuk membaringkan tubuh di kasur yang empuk, tanpa repot mengganti setelan, bahkan masih dengan mengenakan sepatu. Setengah hati mendengarkan celoteh antusias ibuku tentang reuni SMAnya yang berlangsung sangat meriah. Separuhnya lagi memikirkan rapat direksi besok pagi yang harus kuhadiri. Sebagai manajer bagian distribusi, aku telah mengeluarkan semua kemampuanku. Dan aku yakin semua orang puas dengan hasilnya.

Tapi sebagai putera pemilik perusahaan, aku punya standar  tersendiri. Hasil yang bagus, laba yang lumayan, tidaklah cukup bagiku. Dengan nama besar perusahaan dan dukungan finansial seperti ini, siapapun bisa melakukannya.  Aku harus bisa menghasilkan sesuatu yang lebih daripada ini. Anggapan bahwa aku menduduki posisiku sekarang hanya karena aku putera sang bos besar, sangat melukaiku. Aku tidak mau itu terjadi.

“Ricky..., kau masih disitu? Halloo?” Suara ibuku menarik pikiranku kembali. Bisa kubayangkan saat ini beliau tengah duduk di sofa ruang keluarga, memandang telepon ditangannya dengan dahi berkerut. Bayangan itu menarik sudut bibirku ke atas, membentuk senyuman. Ibuku paling tidak suka di acuhkan, apalagi oleh anak-anaknya.

“Iya, bu.... aku mendengar semua yang kau ucapkan.” Tarikan nafas lega terdengar jelas di sambungan telepon. Dengan segera, rangkaian kata-katanya kembali mengalir deras. Aku sudah mulai bosan mendengar ocehan ibuku. Jari-jari tanganku mengetuk lengan kursi dengan gelisah.

Pujian setinggi langit yang diberikan pada seorang teman lamanya, membuat kupingku berdiri tegak. Ucapannya yang menyinggung puteri sahabatnya itu, menyalakan alarm di kepalaku. Aku mulai bisa menebak ke arah mana percakapan ini berujung.

Sekilas ingatanku melayang pada pesan singkat yang dikirim temanku. “Bulan depan dia pulang.” Walau tidak disebutkan siapa orang yang dimaksud, tidak mungkin aku salah mengira sebagai orang lain. Cukup lama aku bersabar menunggu datangnya waktu ini, aku tidak rela ada yang merusak rencanaku.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang