Pertengkaran Pertama

4.1K 190 65
                                    

Cerita? Tidak? Cerita? Tidak? Cerita???

Masih saja aku bimbang dengan kedua pilihan itu. Mungkin sebaiknya aku bilang sama Tiara kalau aku minta agar Ibu mencoba berdamai dengannya. Dia jelas berhak tahu karena dia juga terlibat didalamnya. Juga untuk jaga-jaga kalau satu saat mereka memang ketemuan. Tapi itu artinya aku gagal menjauhkan mereka. Padahal aku tidak ingin mereka menjadi bertemu lagi, apalagi sampai dekat. Kemungkinan besar Tiara juga tidak akan setuju. Aku tidak punya energi dan juga waktu untuk berdebat dengannya tentang hal ini. Dia sendiri sudah menawarkan cerita bahwa kami putus, karena dia tidak tahan dengan sikap keluargaku. Tapi kalau menyerah begitu saja, keluargaku pasti curiga. Apa benar kami saling suka kalau ketemu rintangan kecil seperti itu saja sudah mundur.

Kalau aku bisa mencegah Ibu dan Tiara bertemu, masalahnya akan beres. Jadi mungkin Tiara memang tidak perlu tahu hal ini. Bukan apa-apa, aku tidak ingin hal ini menjadi beban pikirannya. Belakangan ini dia tampak lain. Beberapa kali aku memergokinya sedang melamun. Aku tidak mungkin bertanya apa masalahnya. Aku tidak mau dianggap ikut campur urusan orang lain.

Aku sudah mendapat nomor Anya dari Ibu, dan beliau terlihat senang waktu kubilang akan segera menghubungi gadis itu. Tapi Ibu tidak balas menanyakan nomor atau alamat Tiara. Jadi, aku berharap untuk kali ini saja Ibu ingkar janji. Paling tidak, menundanya selama mungkin. Sejauh ini Ibu masih tenang-tenang saja, tidak terlihat tanda beliau akan mulai mengajak Tiara bicara.

Ya, lebih baik Tiara tidak tahu. Apa yang tidak kau ketahui, tidak akan menyakitimu, benarkan? Aku cuma perlu menjaga agar Ibu dan Tiara tidak perlu bertemu. Sekarang, lupakan Ibu dan Tiara. Sudah beberapa hari ini kami saling bertukar sapa lewat hp dan sosial media lain, dan siang ini kami sepakat untuk makan bareng. Aku melirik jam tanganku dan tersenyum riang. Sudah waktunya! Sambil bersiul riang aku meraih kunci mobil.

Senyum ceria masih menghiasi wajahku saat aku melangkah memasuki lift, bertepatan dengan Tiara yang terhuyung keluar. Mukanya nampak pucat, dan dia setengah berlari menyusuri koridor. Tanpa menoleh ke arahku, apalagi menyapa atau sekedar meminta maaf karena telah menabrakku.

“Tiara!”

Ada apa sih dengan gadis itu? Dia terus saja berjalan tanpa menghiraukan panggilanku. Terbayang wajahnya yang pucat, apalagi keluhannya beberapa waktu lalu, dia mengeluh pusing saat dia datang terlambat, aku jadi khawatir. Apa dia benar-benar sakit? Segera saja aku keluar dari lift yang hampir menutup. Kuikuti langkahnya menuju toilet. Dengan gelisah, aku berusaha sabar menunggunya di depan pintu.

Lama sekali baru Tiara keluar dari toilet. Jika 1 menit lagi dia belum juga keluar, aku sudah masuk. Wajahnya terlihat makin pucat, dia juga tampak lemas. Dia terlihat kaget melihatku, tapi cepat-cepat menundukkan wajahnya dan berlalu. Sesaat aku ragu, dia begitu lemah dan rapuh dengan mata yang terpejam rapat dan tubuh menyandar di kursi. Membuatku sedikit takut.

“Kamu sakit ya? Mending kamu pulang sana, apa perlu aku panggilin taksi?” Perlahan kelopak matanya membuka. Dia menatapku linglung, aku jadi semakin khawatir dibuatnya. Kukibaskan tangan depan wajahnya. Tiara tersenyum kecut sambil menggeleng lemah. “Aku anterin ke dokter ya? Mau ya?”

Tiara tertawa sumbang, “Udah deh, Pak. Tidak usah sok peduli gitu, lagian saya juga nggak papa kok.” Aku tercengang mendengarnya. Belum pernah aku mendengar Tiara bicara dengan nada seperti itu. Aku menelan ludah dengan resah, kuulurkan tangan untuk menyentuh keningnya yang langsung ditepis olehnya.

“Kamu kenapa sih?” Dia benar-benar membuatku khawatir. Tiara menegakkan tubuhnya dan menatapku dengan tajam sebelum memalingkan wajahnya ke arah lain. Ada kesan mencemooh yang kulihat di sana. Aku terpana, gadis ini bukan Tiara yang biasa kukenal. Tanpa sadar, aku menariknya masuk ke ruanganku. Tangannya dingin dan lembab. Dia tidak menolak, meskipun sesampainya di dalam dia langsung menarik lepas tangannya dan duduk santai di sofa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang