[8] Bagian Delapan

309 37 0
                                    


June Ka,

Jam tujuh malam aku pulang dijemput Bang Maja yang kebetulan juga baru pulang dari studionya, badanku serasa remuk, punggungku pegal, dan jariku terasa kebas kebanyakan bertabrakan dengan keyboard. Dari hampir ratusan lembar survei itu kami baru menyelesaikan setengahnya itupun dengan menelantarkan tugas harian kami dan tanpa ada jam istirahat, lalu Mbak Mia memberi keringanan dengan batas waktu pengumpulan laporan yang di perpanjang akhirnya jam lima sore kami ngebut mengerjakan tugas harian agar tak menumpuk di keesokan harinya. Santi dengan keukeuh menghubungi Mbak Ika yang nomornya di luar jangkauan dia masih tidak terima harus membuat ulang laporan yang waktu itu dikerjakannya dua hari bersama Mbak Ika terlepas dari pensurveiannya yang hampir empat hari itu.

Dengan lesu aku memasuki rumah tapi sebelumnya aku terkejut mendapati motor seseorang yang ingin kujauhi sementara ini. Rakai, lelaki itu tersenyum manis menyambutku begitu aku masuk rumah. Dengan Mbak Iken yang sepertinya baru membuatkannya teh duduk di single sofa.

Aku tersenyum canggung, lalu berpamitan ingin membersihkan badan terlebih dahulu. Tak enak langsung menolaknya di saat dia yang katanya Mbak Iken sudah bolak balik empat kali menungguku pulang PKL. Berapa kali Mbak Iken membuatkannya teh?

Pikiranku berkecamuk mengetahui Rakai di rumah, waktu itu sempat ku tegur untuk tidak datang kerumah terlebih apapun alasannya karena kedatangannya tempo hari membuat hubunganku dan Juna merenggang lalu kini hubungan kami sedang merenggang di tambah kedatangan Rakai, apa yang akan terjadi? Jikalau Juna tahu.

Melihat beberapa lembar kertas dan laptop yang dibawanya aku yakin Rakai ingin membahas tentang proposal yang akan kami ajukan pada komite desa. Bazar amal yang akan di laksanakan sanggar kampung disambut pro dan kontra beberapa berpendapat hanya akan menghabiskan uang desa dikarenakan kampung kami yang jauh dari kota pastilah akan sepi ujar mereka ada juga yang pro dengan kegiatan kami dengan memberikan izin beberapa lahannya digunakan.

Semua ini mempersukitku, ingin kutolak untuk berpartner dengan Rakai namun rasanya tak enak mengingat ketua sanggar adalah sepupunya, Bang Rendi. Anehnya dalam berbagai acara aku selalu di pasangkan dengan Rakai, beberapa kali aku menolak namun keadaan seperti selalu berpihak pada Rakai yang memang maunya denganku, ya lelaki itu secara gamblang mendekatiku. Ingin ku memaki atau bersumpah serapah disaat lelaki itu memintaku untuk bergabung dengannya tapi rasanya hati tak tega melakukan itu dengan lelaki kalem seperti dia. Padahal dia sudah tau aku kekasih Juna tapi mengapa seolah itu bukan masalah Rakai malah makin gencar mendekatiku, mendekati pacar temannya(?)

Selesai mandi dan berpakaian rapi aku menuju dapur sebentar untuk memakan beberapa kue, sedari pagi aku belum makan nasi. Dikarenakan kesibukan hari ini aku hanya berhasil memakan pop mie itu pun kucuri-curi waktu disaat mengetik.

Merasa siap bertemu dengan Rakai, aku melangkahkan kakiku dengan menenteng laptop dan beberapa lembar kertas, konsepnya.
Meski tubuh meminta diistirahatkan aku tetap memaksa untuk menyelesaikan urusanku dengan Rakai terlebih dahulu agar nanti kedepannya aku bisa sedikit bebas dari teroran Rakai. Semoga saja lelaki itu mengerti. Beruntungnya dia belum tau aku bertukar HP dengan Juna, mengurangi sedikit terornya terhadapku.

Kami memulainya dengan membahas pertemuan beberapa hari yang lalu dengan Bang Rendi. Hari dimana aku bertemu Rakai tanpa di sengaja yang malah membuat Juna salah paham. Meski kami tidak hanya berdua tapi tetap saja Juna bukan tipe yang mentolerir kata 'tapi' sebagai alasan.

Pembawaan Rakai yang kalem membuat setiap orang di dekatnya ikut terhanyut dalam dunianya. Tak ku pungkiri aku sempat terpesona dengannya yang kalem plus tenang berprasangka jikalau lelaki itu berkepala dingin dan memberikan kesan misterius pada sosoknya yang tampan manis.

Ini Saia !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang