[14] Bagian Empat Belas

213 23 1
                                    


Mulai

Sudah lebih dari tiga belas rumah kami datangi untuk mengantarkan pesanan, sepanjang perjalanan yang benar-benar menguras tenaga dan kesabaran. Tak sekali kami dibuat pusing oleh Google Maps yang ada di bawah pengawasanku, kami sangat bergantung pada rute Google Maps ini sebab salah satu dari kami tak ada yang cukup mengenali kota metropolitan ini. Jangan mengharapkan aku, memang sekolah dan tempat PKL ku terletak di jantung kota ini tapi bukan berarti aku tau betul seluk beluk Jakarta yang mana di bagi menjadi beberapa bagian. Di Jakarta ini aku hanya tau rumah Juna, Sekolah, Perusahaan tempatku Prakerin, dan rumah Bang Pambudi, hanya itu yang benar-benar aku tau. Selebihnya aku mengandalkan kecanggihan dari benda pipih yang saat ini aku pantau. Paket yang akan kami hantarkan ini tak meraup banyak kota hanya Jakarta, Bogor dan Bekasi

Panas terik yang menembus kaca mobil dan kemacetan kota benar-benar menekan pikiranku, rasanya aku akan meledak saja. Sesekali catatan alamat kujadikan kipas entah AC atau sinar mataharinya yang bermasalah hari ini yang jelas mereka seolah mendukung untuk membuatku emosi. Rasanya hampir tak terkontrol diriku, keringat yang bercucuran melalui pelipis hingga leher dan masuk ke dalam bajuku hingga tangtop yang kukenakan pastilah lepek di tambah lagi pikiranku yang tak bisa fokus pada kegiatan hari ini, teringat marahnya Juna saat tau aku pergi dengan Rakai, keberadaan Arul sungguh tak akan membuatnya memaklumi. Pastinya Juna tak akan begitu saja menerimanya. Meminta ijinnya lebih dulu sama saja menjemput kematian lebih awal, lagipun memang ini sudah jadi tugasku. Walau dalam hati sebenarnya aku ingin menuruti ucapan Juna tapi bagaimana lagi, Bang Rendi benar-benar pro dengan adik sepupunya ini. Tak ada waktu berdebat tadi pagi, berdebat pun aku yang akan di pojokkan, Indah? tentunya dia akan cari aman.

Ingin rasanya mengungkapkan langsung pada Rakai tentang semua unek-unek dalam hatiku, tapi masih bingung bagaimana cara penyampaiannya agar dirinya tak tersinggung dan tak tersakiti.

Sekarang aku hanya berharap dewi Fortuna berada di pihakku.

Drttttt.....

Drttttt.....

Panggilan dari Juna yang langsung ku terima tanpa lama, terdengar helaan nafas berat darinya tak lama ia mengulanginya lagi dalam tempo yang agak lambat. Sepertinya Juna sedang merokok.

"Halo?"

Tak ada sahutan dari seberang, hanya suara helaan yang samar kudengar. Suara klakson di belakang mobil kami sungguh membuyarkan konsentrasiku pada panggilan ditambah Juna yang tak bersuara jelas.

"Kamu dimana?"

Otakku blank begitu saja, jawaban spontan yang siap ku rancang tiba-tiba hilang. Rakai yang menyadari aku setengah tegang menatap dari samping dengan masih memegang stir mobil.

"Aku nganterin paket yang dari sanggar," kecohku berharap Juna tak merembet ke tujuan utamanya.

Kembali helaan nafas beratnya menyambut gendang telingaku, lalu ia berdehem kecil.

"Aku tanya kamunya dimana?" suara serak nan berat bernada rendah itu mengintrogasiku secara tak langsung,

keringatku tambah deras keluar, degup jantung tak karuan beriringan klakson yang memprovokasi keadaanku. Saat ini dikepalaku hanya ada reka wajah Juna dengan suara beratnya ini, pastilah mengintimidasi.

"Biar aku yang ngomong Ra," seru Rakai siap mengambil HP yang kini menempel pada telingaku.

Entah bagaimana ceritanya kini benda pipih itu sudah berpindah alih ke tangan Rakai tanpa aku yang sempat mencegahnya.

"Bukan ini Rakai,"

Rakai melihatku sekilas seraya meluncurkan senyum ringannya, seolah tak tertekan dengan ucapan Juna yang ku tebak ujaran tak bersahabatnya.

Ini Saia !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang