BRUK!
Kuterjang dirinya dari lariku, merengkuhnya erat tak membiarknnya mencerna apa yang sedang terjadi. Saking eratnya rengkuhanku pada lehernya kedua kakiku menggantung pada tubuhya yang tinggi jangkung itu, kubenamkan wajahku pada tulang selangka maskulin milik Juna. Ia membalas pelukanku pada pinggang yang kini dipeluknya sama erat sepertiku.
Tanpa peduli dengan keadaan parkiran yang agaknya mulai sepi, entahlah aku tak berniat mengawasi sekitar. Saking senangnya, setelah melewati senam jantung yang hampir meloloskan mekanisme kerja jantungku.
"Kenapa?" tanya Juna masih merengkuhku, ia menghentak tubuhku keatas ketika badanku mulai merosot kebawah seiring kendurnya kalungan tanganku pada lehernya. Juna tak membiarkan aku melepas pelukan kami.
Kedua tangannya melilit kencang pinggangku yang kini melepaskan lilitan tanganku padanya, membiarkannya mengangkat diriku. Dari posisi seperti ini juga hidung mancungnya tidak bisa di sembunyikan, terlihat satu garis lurus dari atas dahinya.
"Aku gak perlu bikin laporan," ujarku seraya senyum memamerkan deretan gigi, menenggerkan tanganku pada bahunya.
"Bagus deh, gak perlu ketemu sama Handi-Handi itu dong?" tanya Juna sedikit mendongak sebab aku yang digendongnya. Aku terdiam sejenak lalu menjawabnya beberapa detik kemudian.
"Ya tetep ketemulah," jawabku, ekspresinya berubah menjadi datar-lebih garing dari pada yang tadi. Aku jadi merasa salah bicara.
Ia menurunkanku pelan lantas mengiringku menuju motornya yang terparkir di paling sudut parkiran, memasangkan helm pada kepalaku lalu mulai memakainya juga pada dirinya.
"Jun are you oke?" tanyaku seiring dengan ekspresi datarnya, bukan maksudkku lebih mengarah pada ekspresi orang kesal? untuk apa. Cemburu? bukan seperti ini cemburunya. Merajuk?
Cemburunya Juna itu sarkas tidak mungkin ia mengenakan helm padaku jikalau ia cemburu, pasti sudah terlebih dahulu Juna menyudutkanku dengan pertanyaan konyolnya atau mulai membuatku merinding dengan sentuhannya. Lalu sekarang? bukankah ia terlihat seperti orang merajuk? ya meski dengan tatapannya yang kini menajam tidak menutupi sesuatu yang sebenarnya ingin diutarakannya. Tunggu apa aku benar-benar salah bicara?
"Ayo naik," hanya itu tanpa menoleh padaku yang masih berdiri kaku tanpa mengerti.
Aku menurutinya, mulai memanjat motor gede nya dengan susah payah. Ia menjulurkan tangan kanannya kebelakang, aku menyambutnya sebagai tumpuan tubuhku yang hendak menaiki motornya. Lihat, kalau Juna cemburu mustahil ia melakukan hal selembut ini.
"Juna marah?" tanyanya bernada manis, takut-takut pertanyaanku malah memancing emosinya.
Ku selundupkan kedua tanganku pada saku hoodie yang masih sama seperti tadi pagi, wangi badannya juga tak berubah masih sama seperti pagi tadi tapi bertambah bau matahari pada rambutnya yang kecoklatan.
Bukannya menjawab Juna malah sempat-sempatnya memeriksa kedua tanganku yang ada di dalam sakunya, meremasnya dari luar saku lalu mulai menyalakan motor.
Merasa di abaikan aku mencubit perut kerasnya itu dari dalam saku, Juna mendesis pelan. Lalu menoleh padaku dengan tatapan kesalnya, tatapan tak ingin di ganggunya. Apa dia sedang dalam suasana buruk?
Segera aku menegakkan tubuh dari yang tadi sedikit miring guna melihat wajah Juna kini duduk tegap sebaris dengan badannya yang didepanku lalu aku mendekapnya dari belakang dengan erat untuk menghindari tatapan Juna yang masih belum beralih. Mustahil kan kepala Juna bisa berputar tiga ratus enam puluh derajat seperti burung hantu? jadi ini adalah posisi teraman sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini Saia !
Romance"Saia?" ucapnya mencebik tak suka, membalikkan badanku menghadapnya yang kini berdandar pada tangki motornya. Menempelkan tubuh kami, tangannya kini bertengger pada pinggangku. Aku sibuk memperhatikan kanan kiri guna mengawasi barangkali ada seseor...