[12] Bagian Dua Belas

230 19 1
                                    

Sick?

Sebegitu rendahkah tingkat sensitivitasku? sudah berapa kali aku menyinggung tentang kebodohanku ini? oh ya tuhan! Juna yang terbujur lemah diatas ranjang tanggungnya. Wajahnya pucat, bibirnya mengering berwarna merah merekah, lingkaran pada bawah matanya, dan tatapannya yang sayu. Seharusnya aku sadar dari kemarin.

Rambutnya lepek akibat keringat yang terus bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, dengan perlahan aku menyusuri surai coklatnya yang kemarin kucium aroma mentari.

Ia tampak menikmatinya, menutup matanya dan mulai mengatur nafasnya yang tersengal. Kedua tangannya melingkar erat pada perutku tak membiarkanku beranjak dari sisinya. Hidung mancungnya itu digesekkan pada sisi pinggangku, aku geli di buatnya.

Kain yang tadi menempel pada dahinya sudah jatuh sejak ia menggesekkan hidungnya, aku memungutnya lalu kembali memasukkannya pada panci berisikan air es lemon.

Tak jauh dari keberadaan kami, gadis yang setahun lebih muda dari ku itu mulai menunjukkan ekspresi jengkel. Walau tangannya menengadahkan benda pipih tapi tatapannya ke arahku. Hingga hentakkan kakinya mencuri perhatian kami.

"Males ah jadi nyamuk," ujarnya begitu langsung beranjak dari sudut ruangan. Pergi meninggalkan kami dengan membanting pintu.

Gadis itu, Sesil, tadi pagi meneleponku memberi kejelasan soal keadaan Juna, aku panik begitu mengetahui Arjunaku sakit. Ingin rasanya pagi itu langsung menemuinya tapi hal itu tertahan sebab Badron -Kakak lelaki Sesil- mengatakan Juna sudah mendingan dan menyuruhku besuk saat pulang PKL.

"Maaf ya," gumamku pelan tak yakin Juna mendengarnya. Tangan kananku masih menyugar rambutnya sementara tangan kiriku mengelus pelan kedua tangannya yang melingkar pada perutku.

Kepalanya menengadah menatapku dengan mata lelahnya, tangan kananku kini ia giring menuju bibirnya yang merah membara. Terasa panas menyengat punggung taganku begitu tertempel dengan bibirnya, kubayangkan betapa panas dalam tubuhnya.

Kecupan itu tak kunjung di lepaskan matanya yang memejam meresapi kecupan pada tanganku. Ku perhatikan rahangnya yang memiliki garis tegas yang kini lebih menonjol, baru satu hari sakit tapi sudah terlihat ulang belulangnya.

Tanganku yang bebas mengusap rahang kering itu, terasa kokoh dan keras. Naik ke arah pipinya yang memiliki tonjolan dekat matanya, tulang pipi itu terasa nyata sudah seperti orang yang sakit berbulan-bulan.

Juna tak pernah menampilkan wajah lemahnya di hadapnku. Selalu tatapan mengawasi dan kerutan dahi yang membuatnya terlihat waspada. Tak pernah kulihat guratan lelah atau gesture tubuh lesu padanya, selalunya ia menampilkan sosok yang gagah perkasa padaku hingga aku tak bisa mendeteksi kapan ia mulai limbung. Terlalu pandai ia berakting.

Sekalinya drop pasti langsung terbaring lemah seperti ini.

Tak terpikirkan olehku tentang ketidak hadirannya di sekolah sebab sakit, kufikir Juna memang ingin membolos untuk membantu Badron yang katanya baru buka café. Aish, pacar macam apa aku? harusnya aku sadar dengan perubahan fisiknya belakangan ini!

Benar kata Sesil aku tak becus, ingin ku benturkan kepalaku ini!

Payah!

"Kenapa nggak bilang kalo sakit,"

Masih setia mengecup punggung tanganku, enggan menatap ke arahku, tak mengizinkan aku melihat raut lemahnya. Tanpa kata Juna membawa genggaman itu pada dekapannya lalu mulai menutup mata, meringkuk dengan tangannya yang lain melilit pinggangku.

"Kurang perhatian ya akunya?"

Ia mendongak, menetapku dari bawah. Mata sayu yang tampak kuyu itu menelisik wajahku. Seolah-olah pandangannya menyusuri setiap jengkal muka ku.

Ini Saia !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang