[21] Bagian Dua Puluh Satu

189 24 5
                                    

VoteComment pliss,

Bagai tersihir oleh sorot matanya yang hanya tertuju padaku, menembus sanubari. Juna, lelaki yang berjarak kurang lebih tujuh meter dari ku menurunkan Handphonenya. Dengan tangannya yang lain mengeratkan genggaman, alis tebalnya terlihat jelas sebab air hujan membasahinya terlihat hitam pekat. Bibirnya menipis menahan sesekali bahkan ia menggigit kasar bibir tebalnya itu. Dari sudut ini ia terlihat maskulin, eh? Aku sempat terpesona dengannya.

Semua itu terasa lambat ku lalui, bagai slowmotion yang makin membuat detak jantungku tak karuan.

Takut letupan ledakkan darinya, takut ia segera menerjangku yang sudah pasrah ini.

Sedikit keberanian aku berjalan mendekat ke arahnya, hoodie biru dongker dan celana tactical yang Juna kenakan sudah basah kuyup meski begitu ia tak bergerak sama sekali.

Saat sampai dihadapannya, tatapannya tak juga lepas kini makin menajam. Meneliti seluruh tubuhku dari atas hingga bawah.

"Jun,"

Panggilku ia tak juga berkutik, aku mencoba memayunginya bersamaku. Perbedaan tinggi kami yang signifikan makin menyulitkanku.

Juna membuang napas kasar dan memejamkan matanya, tanganku di tariknya kencang menuju pintu rumah.

Biar ku list,

Pertama masalah sanggar, kedua masalah tak menghubungi dan ketiga lupa bawa Handphone.

Mungkin itu beberapa kesalahanku yang sudah ku observasi, hanya tinggal menunggunya mengamuk.

Cukup kencang ia menarikku dengan langkah lebarnya, cukup hingga aku tak bisa mengimbangi langkahnya dan membuat pegangan pada payung terlepas.

Saat sampai di ruang tamu ada Mbak Iken dengan Laptopnya, sekilas ia melirikku lalu kembali lagi pada layar.

Tarikan pada tanganku berhenti di ruang tengah, Juna mengambil benda pipih yang tergeletak di sofa.

Lagi tatapan itu menyorot padaku, dengan geraman Juna buka suara.

"Ini gunanya Hp apa Na?" Nada tertahan di lapisi tekanan, sedikit membuatku takut.

Tapi rasa risih di celanaku yang kotor dengan lumpur mengalihakn rasa takut, ada baiknya ini sebagai alasan.

"Marahnya nanti dulu bisa nggak, aku mau ganti baju dulu." Ujarku memelas.

Berhasil, Juna mengalihkan pandangannya pada celanaku yang jelas terdapat lumpur merah. Aku sedikit menggaruknya, memperlihatkan kesungguhan ucapanku.

"Gatel," rengekku.

Juna berdecak pelan lalu menarik napasnya dalam-dalam.

"Ya udah ganti baju," ucapnya cepat membuang muka.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Ya udah sini Hpnya mau aku chass" tukasku hendak merebut Handphone yang ia genggam.

Alisnya merengut, dengan tatapan tak percaya. Tapi akhirnya ia serahkan juga.

Sebelum menutup pintu, aku teringat sesuatu.

"Kamu ganti baju juga," ujarku mengintip di ambang pintu.

Ia berkacak pinggang dan memperhatikanku dengan garang.

"Ya udah kalo gitu nanti jangan duduk di sofa," tukasku lagi.

"Ya udah sini lanjut marahnya," tangannya di ayunkan mengisyaratkanku untuk kembali dekat dengannya.
.
.
.
.

Ku pikir hanya nikotin yang memiliki bentuk ketagihan kompleks, nyatanya eternal ink pun juga sama bekerja di tubuh Juna, rasa kecanduan.

Untuk memikirkan alasannya melakukan itu aku sudah lelah apalagi menebak isi otak nya yang mungkin tidak di lapisi meninges, akibatnya paparan kotor dari luar tak sanggup di cegahnya.

Ini Saia !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang