[26] Bagian Dua Puluh Enam

148 22 13
                                    

🌑

Bagai cuaca tak merestui, terdengar guntur bergemuruh sepanjang perjalanan ini. Awan senja yang mengajak berleha-leha kini tergantikan awan muram abu-abu menuju gelap.

Kedua tanganku bersemerawut di atas pangkuan, imbas dari perang batin. Antara mau dan takut. Tiba-tiba saja rasa penasaranku akan Rakai di bayang-bayangi dengan wajah murka Juna.

Lagi, aku tidak siap jikalau ia bertindak brutal kepada Rakai. Hati nuraniku terganggu dengan itu.

Sekilas aku melihat lelaki di sampingku, biasa saja. Masih biasa saja, dari gerakannya mengemudi Rakai tampak tak memikirkan hal buruk yang mungkin menimpanya. Seperti biasa tatapan matanya stabil, fokus pada jalan.

"Kenapa?"

Dari nada bicaranya itu bukan pertanyaan, sudut bibirnya terangkat sedikit. Seperti mengejek (?)

Ya jelas! Takut, takut melihatmu pulang tak berbentuk seperti hari itu. Karena jujur aku tak yakin bisa memisahkan seorang Juna sendirian.

"Kita, mau kemana?"

"Kemana aja, agak jauh sih." jawabnya sedikit berbisik.

Lalu turunlah rintikan hujan, sangat kencang membentur atap mobil. Suara radio yang tadi mengisi kekosongan dalam mobil kini harus berbagi ruang dengan rintik hujan.

Dua hiasan sapi? Itu bergoyang sepanjang jalanan berbatu.

Rakai membawaku ke tempat yang ku tak tau arahnya, ini di pinggiran kota. Melewati pantai yang penuh kabut, tapi Rakai tetap mengemudi dengan tenang.

"Mobil ini, kamu pernah naikin sebelumnya?"

Dengan suara hujan pertanyaan itu terdengar, seperti nada meledek tapi penuh keingintahuan.

"Pernah," jawabku.

Rakai tertawa kecil diiringi seringai tipis pada sudut bibirnya, benar-benar terkesan meledek.

"Juna berani ya, bawa kamu pake mobil ini." lagi suaranya masuk ke gendang telingaku, terasa tak ramah suaranya itu.

"Maksudnya?"

"Eh bukan, jangan marah dulu. Sebentar lagi sampai kita ngobrol disitu aja."

Selang beberapa menit kemudian kami sampai pada Cafe sederhana gaya outdoor, kursi kayu panjang berjajar rapi di luar ruangan. Sayangnya hujan membasahi mereka, padahal itu ada spot menarik yang ingin ku coba.

Dan akhirnya Rakai mengajakku duduk di dalam Cafe, hanya ada beberapa meja yang tersedia dan beberapa pelanggan. Senyap tanpa suara bising orang di ganti dengan rintikan hujan pada atap bangunan ini. Memang tempatnya jauh dari jangkauan jalan besar utama mungkin sebab itu pelanggan pun sedikit, atau mungkin juga karna hujan(?)

"Duduk anteng berdua gini, susah banget lho aku dapet kesempatannya." ujarnya setelah waiters menyarahkan dua gelas, entah rasa apa minuman itu.

"Hah?"

"hmm, Juna terlalu takut."

Aku kehilangan orientasi rasa sekarang, satu sisi aku benar benar ingin tahu banyak hal dari Rakai di sisi lain aku mulai jengah dengan gaya bicaranya yang tak selembut dulu. Ada apa? apa masalahnya denganku?

Melihat Rakai tempo hari dipukul habis habisan ada rasa iba tentunya melihat seseorang di perlakukan tidak manusiawi seperti itu tapi sekarang setelah pulih dan sehat Rakai berdiri angkuh dengan bicaranya yang lugas. Memang Juna dan Rakai pasti memiliki sesuatu yang disembunyikan. Tapi bisakah jelaskan permasalahan nya padaku?

"Mau ngomong apa?" tanyaku langsung to the point. Tidak bisa menahan rasa kesal dengan ekspresi Rakai saat ini.

"Aku dulu yang mulai? bukannya kamu yang banyak pertanyaan?" ujarnya setelah menyeruput minuman di cangkirnya.

Ini Saia !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang