[3] Bagian Tiga

498 46 7
                                    

Baby Its Raining

Loser

.

Loser

.

Loser

.

Loser

Yang kelima kalinya kubanting HP itu dengan keras- diatas kasur. Terdengarlah cekikikan, cemo'ohan, ledekan, bahkan hinaan mengiringi HP itu yang kini terpental dekat bantal. Kuubah posisiku yang awalnya telungkup menjadi telentang dengan helaan napas berat.

"Udahlah Ra, bego mah bego aja." nah itu termasuk yang mana? hinaan? cemo'ohan? atau ledekan.

Dengan kaki kanan ku tendang bokong semok itu, si empu meringis seraya mengusap bokongnya.

"Lagi laki lu bener-bener deh," kali ini bukan ku tendang tapi ku toyor kepalanya, ia tersedak dan aku tertawa puas.

"Apaan sih lu ikut-ikutan Mbak Iken aja, loka laki loka laki. Belom nikah gua sama dia." sungutku tak terima dengan panggilan Indah pada Juna yang mengikuti panggilan Mbak Iken ke Juna.

"Iya blom nikah tapi dah kawin," ujar Mbak Iken yang baru berhenti tertawa, mulai gibahnya.

Uhuk-uhuk-uhuk

Perempuan yang setahun diatasku dan setahun di bawah Mbak Iken itu kelabakan mencari cairan guna menghanyutkan brownies yang tadi siang ia antar ke rumah ku dan malam ini ia habiskan, entah niat memberi atau tidak anak ini. Mbak Iken yang melihat itu langsung menyodorkan gelas yang tadi dibawanya tanpa banyak tanya Indah menerimanya dan langsung diteguknya minuman berwarna orange itu. Yang seharusnya untukku.

"Ini kunyit asem?" tanyanya sambil menatap gelas itu lurus lurus, Mbak Iken mengangguk lalu ambil posisi duduk bersandar pada kepala ranjang di sampingku.

"Nggak ada air putih apa?" tanyanya lagi kini menutup Tupperware biru milik ibunya.

"Yee masih mending gua tolongin lu dari keselek , pake nawar lagi." jawab judes Mbak Iken dibalas cengengesan dari Indah.

"Eh-eh-eh lanjut, si Yara dah ngapain aja sama lakinya?" antusias Indah sambil menarik tangan Mbak Iken guna mengikis jarak.

Jika sudah begini jangan harap pembelaanku berlaku, mereka tak perlu klarifikasiku untuk itu yang mereka butuhkan hanya bahan bakar untuk membakar mulut mereka. Aku mendengus, meraba sekitaran bantal lalu menangkap benda pipih yang tadi ku sia-siakan. Tak masalah bagiku mendapat kata Loser dari Hp daripada harus menyimak Mbak Iken dan Indah yang mulai asik bergosip tentangku, tak mau ada perlawanan tak mau ada pembelaan, biarlah, Lagipun aku bisa apa kalau Mbak Iken dengan mulut julidnya sudah menghakimi terlebih dulu dan disini tolol dan bodohnya Indah selalu percaya. Kupikir gadis yang selalu ranking pertama di kelasnya itu tau yang mana yang lebih dilogika tapi nyatanya sama saja. Kemampuan akademik boleh oke tapi naluriah-yah begitu.

slide demi slide kubolak balik terus tapi tak menemukan yang cocok dengan kemauan ku, tidak ada Instagram, tidak ada Snap Chat, tidak ada Facebook, tidak ada Wattpad, dan tidak ada camera cantik! Hp dengan muatan internal yang besar ini sudah terlalu penuh dengan belasan Game dan video-video pertandingan bola. Oh my god, disini yang bisa kuharapkan hanya Youtube yang memang sudah ada dari setelan pabriknya dan yup seharusnya aku sudah menduganya semua rekomendasinya tentang bola, Iya B-O-L-A. Bisa stress aku kalau begini.

Sekarang baru sadar, terlalu jauh aku dengan Juna. Pertama aku tidak suka sepak bola, perminannya lho ya kalau pemainnya mah suka garis kriting tapi merekanya saja yang tidak suka denganku. Kedua, sumpah demi tuhan aku tidak punya satupun Game dalam Hp ku lain dengan Juna yang punya tujuh belas Game semacam Mobile Legend di Hpnya. Dan yang ketiga Juna terlalu sombong untuk menyapa orang dikenalnya saat dijalan lain denganku yang ramah, yah aku sih kata tetangga lho ya. Sebenarnya poin yang terakhir tidak ada sangkut pautnya, lupakan.

Ini Saia !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang