"Turun," ujar Alvin datar.
Lelaki itu sama sekali tidak menolehkan kepalanya ke arah Selena yang kini tengah duduk di sampingnya.
Selena yang mendengar perintah itu. Menolehkan kepalanya ke arah kakak kandungnya. Mencari sebuah kepastian bahwa sang kakak hanya bercanda. Tapi sekali lagi ia harus menelan rasa kecewa saat didapatinya wajah datar sang kakak.
"Apa kurang jelas perintah gue. Turun!" ujarnya sekali lagi dengan pandangan lurus ke depan tanpa sedikitpun melirik bahkan menoleh ke arah Selena.
"Ta-, tapi sekolahnya kan masih 2 Km dari sini kak," jawab Selena dengan suara pelan.
"Urusan gue kalo sekolahnya masih 2 Km dari sini?" tanya Alvin yang lagi-lagi tidak mau menatap adiknya itu.
"Kalo Selena turun ntar Selena bisa telat, terus dihukum, Ini kan hari pertama Selena. Selena nggak mau telat kak Selena-"
"DIAM!" bentak Alvin yang mampu membuat Selena bungkam seketika. Barulah saat bentakan itu keluar. Serta merata Alvin menoleh ke arah adiknya itu.
"Kalo gue bilang turun ya turun. Gue nggak mau satu sekolah tau kalo lo itu adek gue. Turun atau gue seret sekarang," geram Alvin mencoba untuk menahan emosi yang sebenarnya sudah dicoba untuk diredamkan beberapa kali, namun gagal.
Selena tersentak atas kata-kata itu. Cewek 15 tahun itu menatap kakanya tidak percaya, dibukanya sabuk pengaman yang tadi melintang di depannya.
Dengan gerakan seperti robot, cewek itu turun dari mobil sang kakak yang kini melaju kencang saat kakinya menapaki aspal jalanan.
Selena berdecak sebal atas perlakuan Alvin kepada dirinya. Sekalipun tak pernah ia bantah perintah Alvin meskipun perintah itu sering kali membawanya dalam kesulitan seperti sekarang.
Diliriknya jam tangan berwarna biru metalik yang melingkar indah di pergelangan tangannya yang putih. Di sana jarum jam menunjukkan angka di antara angka 6 dan 7.
Selena berdecak sekali lagi. Cewek itu mengambil ancang-ancang untuk lari demi memenangkan detak jam yang sekarang menjadi musuhnya.
Tidak dipedulikan lagi berapa banyak pasang mata tertuju ke arahnya yang kini terus berlari kesetanan. Dalam lari itu, Selena terus memegangi dadanya, tepat dimana paru-paru tersembunyi dalam tulang rusuk.
Saat dirasakan nafasnya mulai sesak, Selena memilih untuk berhenti. Dibungkukkan tubuhnya sembari menyeka keringat yang bercucuran di keningnya.
Diraihnya sebuah benda yang panjangnya tidak lebih dari telapak tangannya itu. Dengan sekali gerakan benda itu sudah memasuki mulutnya.
Sfftttt Huffttt.
Beberapa kali dihirupnya udara dari benda itu, memaksakan oksigen memasuki paru-paru yang terasa sesak saat ini. Setelah dirasakan cukup, cewek itu kembali menaruh benda yang dikenalnya sebagai inhaler itu ke dalam saku seragamnya.
"Gue nggak boleh nyerah," tekadnya dalam hati.
Cewek itu kembali melanjutkan langkahnya menuju sekolah yang kini sudah terlihat di depan matanya. Dengan langkah yang sengaja dipercepat. Cewek itu berhasil memasuki pintu gerbang sedetik sebelum bel berbunyi.
"Dari mana saja kamu!" bentakan itu mampu membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Seseorang cewek dengan balutan putih abu-abu kini bertolak pinggang di depannya.
"Sa-, saya-"
"Ikut saya! Kamu akan saya hukum karena terlambat di hari pertama MOS."
"Baik kak," pasrah Selena. Cewek itu mengikuti langkah seniornya menuju lapangan basket di mana anak-anak yang memakai seragam putih biru seperti dirinya tengah berbaris rapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fault
Teen FictionAku tidak pernah tau mengapa kalian selalu menganggapku tidak ada... Mengacuhkanku ketika kita bersitatap.... Berbicara padaku dengan amarah yang membara... Dan menatapku seakan aku hanyalah duri dalam keindahan bunga mawar... Mungkin kehadiranku ha...