HAPPY READING ^^=== The Fault ===
Suara derap langkah kaki terdengar di sepanjang lorong rumah sakit, menghadirkan gema samar. Suara itu mengusir keheningan yang sejak tadi menemani kesunyian. Semakin lama semakin cepat ritme yang dihasilkan dari gesekan antara sepatu dengan lantai rumah sakit. Tak ayal jika sepatu itu semakin cepat menapaki setiap lantai-lantai yang tersusun rapi.
Suara derap langkah kaki itu berhenti tepat di depan ruang ICU, menghadirkan keheningan yang sempat terjadi beberapa waktu lalu. Sejenak hanya helaan nafaslah yang terdengar, bukan hanya sekali namun berkali-kali.
Suara lain yang terdengar samar adalah suara yang dihasilkan dari alat pendeteksi jantung, sebuah alat yang memberikan sebuah informasi bahwa nyawa seseorang masih melekat pada raga orang yang dikenalnya semenjak berada dalam rahim seorang ibu.
Perlahan suara pintu terbuka, ikut mengoyak kesunyian di sekitarnya, hingga derap langkah kaki kembali terdengar, semakin mendekati tubuh orang yang masih terlelap dalam komanya.
Untuk beberapa waktu, dibiarkan keheningan kembali hadir di antara kesunyian yang mencekam, hanya bunyi alat pendeteksi jantung lah yang memberikan sebuah sapaan untuk orang yang masih berdiri dengan tatapan sendu memandang ke arah saudara kembarnya.
"Maaf."
Suara itu begitu lirih nyaris seperti gumaman, namun dalam kelirihanya terdapat sebuah penyesalan yang mampu mengguncang benteng pertahanan diri.
"Selena bukan adik gue." Kata itu terucap dengan beratnya. Seakan kata itu adalah sebuah batu besar yang mencoba keluar dari perut bumi. "Dia adik lo, gue nggak berhak ngambil dia dari oma, sekeras apapun gue mau, tapi gue nggak bisa, gue nggak mau ngelangkahin lo, jadi-"
Suara helaan nafas kembali terdengar berat, membuang semua pedih yang sudah tertanam di hatinya tepat saat kata itu meluncur keluar dari bibirnya. "Jadi lo harus bangun, bawa gadis kecil lo itu kembali kerumah kita."
Keputusanya sudah bulat, dirinya benar-beanr tidak berhak menarik Selena untuk kembali ke rumah mereka. Bukan karena tidak mau, tapi lebih karena tidak pantas.
Semua perlakuan kasarnya terus menyadarkan bahwa dia hanya akan membuat adiknya terluka jika ia memintanya untuk kembali berkumpul dalam satu naungan yang disebut sebagai rumah.
Mungkin dirinyalah yang egois karena terlalu memikirkan diri sendiri, tapi hal itu ada benarnya. Lebih baik tidak sama sekali jika menariknya kembali akan menghadirkan sebuah luka baru yang sampai saat ini masih terus berputar dalam otak Alvin maupun orang yang merasakan kekerasan fisik itu. Selena.
Seberapa keraspun ia menyadari kesalahanya yang telah bermain kasar kepada adik kandungnya sendiri, tetapi seringkali perasaan itu memudar jika diingatnya bagaimana nyawa sang Ibu lepas dari raga yang dulu selalu memeluknya penuh kasih sayang.
Tapi apakah benar, hanya karena alasan itu? Ataukah ada alasan yang lain? Entahlah, hanya Alvin yang tahu mengapa ia terus tidak menyukai kehadiran adiknya itu.
"Lo harus sadar," lanjut Alvin masih dengan nada pelanya. "lo harus kuat, kalo bukan lo, siapa lagi yang bisa ngelindungin dia, Gue?"
Alvin menghentikan ucapanya sejenak. Sebuah tawa lirih keluar dari bibirnya. "Gue bukan malaikat kayak lo, jelas gue nggak bisa ngelindungi dia, lebih tepatnya gue nggak mau ngelindungin duri dalam keluarga kita. Lo tau maksud gu, Al, maafin gue."
Keputusan tetaplah keputusan, pendirian akan selalu ditegakkan pada diri orang yang selama ini hidup tanpa iringan seorang ibu.
Sekali lagi helaan nafas terdengar begitu berat diikuti dengan suara yang mulai parau. "Cepet sembuh, Al."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Fault
Teen FictionAku tidak pernah tau mengapa kalian selalu menganggapku tidak ada... Mengacuhkanku ketika kita bersitatap.... Berbicara padaku dengan amarah yang membara... Dan menatapku seakan aku hanyalah duri dalam keindahan bunga mawar... Mungkin kehadiranku ha...