'Tidak ...! Aku tidak merindukannya, aku membencinya. Seharusnya aku membencinya. Dia sudah menghianatiku, tapi kenapa aku tidak bisa membencinya?!'"Aargh!"
Kulempar semua barang yang ada di meja kerja termasuk kertas-kertas penting yang tadi diberikan oleh Pak Wisnu. Aku berjalan mondar mandir sambil mengusap kasar rambutku.
Napas pun memburu, keringat bercucuran meski AC di ruangan ini begitu sejuk. Ada apa denganku? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri?
"Bu Ayesha ...?"
Aku menoleh ke arah pintu dan kulihat Safitri--kepala bagian keuangan--sudah berdiri di ambang pintu.
Matanya menyapu ruangan yang begitu berantakan, lalu bergegas dia membereskan semuanya.
"Bu Ayesha baik-baik saja?" tanyanya setelah selesai merapikan semua yang tadi berserakan.
"Ah ... ya, sa--saya baik-baik saja Fit. Ada apa?" Aku kembali duduk di kursi sambil membenahi penampilanku yang acak-acakan. Matanya menatap penuh tanya.
"Eum ... ini, Bu, mau melengkapi data keuangan yang tadi sudah di bawa Pak Wisnu. Ada tambahan data untuk gaji para field worker yang baru," terangnya sambil menyerahkan stopmap berwarna kuning.
"Ooh, okey nanti saya lihat, makasih ya." Safitri mengangguk lalu pamit untuk kembali ke ruangannya.
"Fit ...!"
"Iya, Bu." Langkahnya terhenti dan berbalik menatapku.
"Soal tadi, tolong di skip yah, jangan ceritakan siapapun."
"Iya, Bu, in syaa Allah saya amanah."
"Terima kasih."
Kuraih ponsel untuk mengecek pesan dari Mas Singgih.
[Ya sudah kalo lagi sibuk, gak apa-apa] tulisnya di akhir pesan yang tadi tak juga aku balas.
[Iya Mas, maaf ya aku masih sibuk] meski hati tak ingin membalas pesannya, tapi otak seolah menyuruh untuk mengetik sesuatu di ponselku.
Mataku menerawang kosong kearah jendela kaca yang tembus ke halaman kantor.
***
Urusan tender PT. Husein Abadi sudah selesai, sekarang aku harus segera meluncur ke Yayasan Husein Adiwijaya. Ya ... yayasan peninggalan Mas Haikal yang mengelola panti asuhan dan sekolah kejuruan swasta.
Melaju pelan melintasi jalanan kota yang tak terlalu ramai. Aku mengemudi dengan pikiran yang berkelana. Sampai akhirnya aku terhenyak saat sadar kalau ini bukan jalan menuju yayasan.
Ini 'kan jalan menuju ke rumah. Kok bisa? Aku seperti orang linglung yang lupa jalan. Hatiku mengatakan untuk putar arah, tetapi seperti biasa, otakku menentangnya. Perlahan mobil pun memasuki pelataran rumah.
Seperti orang bingung, aku pun segera turun dan berjalan ke rumah. Otak tak bisa mencerna keanehan-keanehan yang terjadi. Apa ini hanya sebuah kebetulan?
"Sayang ... kok udah pulang?" Suara berat Mas Singgih mengagetkanku. Aku menatapnya sayu.
"Kamu kenapa? Kayak orang bingung begitu?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng lalu melangkah menuju ruang tengah kemudian duduk bersandar di sofa. Kupejamkan mata sambil memijit pelan pelipis. Kurasakan Mas Singgih menyusul duduk di sebelahku.
"Kamu sakit?"
Aku menggeleng pelan, lalu memiringkan tubuh menghadapnya.
"Aku merasa banyak hal-hal aneh menimpaku, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Guna-Guna Suami Kedua
RomancePernikahan kedua yang saat ini harus kujalani menjadi awal petaka untukku juga keluargaku. Aku tertipu dengan sikap manisnya, dengan pesona fisiknya. Ternyata dia yang selalu bertutur manis nan lembut, menyimpan begitu banyak angkara di hatinya. Gun...