"Harus sekarang?" tanyaku.[Iya, Bu, agar nanti siang kita sudah bisa kirim semua berkasnya.]
"Baiklah, saya siap-siap dulu."
[Baik, Bu, terima kasih] Pak Wisnu langsung memutus sambungan telpon.
"Ada masalah?" tanya Mas Singgih yang sedari tadi mendengarkan percakapanku dengan Pak Wisnu.
"Nggak, hanya ada berkas yang harus aku tanda tangani," jawabku sambil beranjak meraih tas yang tergeletak di meja.
"Dek, ini minum dulu."
Aku menoleh lalu menerima segelas air yang tadi belum sempat kuminum. Setelah pamit dan mencium punggung tangan Mas Singgih aku bergegas melangkah keluar menuju mobil.
Namun saat tangan hendak meraih hendle pintu, kepalaku tiba-tiba seperti dihantam batu besar. Aku terhuyung sambil memegang kepala yang begitu nyeri.
"Aakh ...!"
"Sayang ...!" Mas Singgih langsung meraih tubuhku yang limbung, lalu memapahku kembali ke ruang tamu.
"Kamu kenapa, Dek?" tanya Mas Singgih panik.
"Kepalaku ... sa--kit, aakh ...!" Aku meringis sambil memijit kepala.
"Sebentar, Mas ambilin obat."
"Ibu kenapa?" tanya Bi Asih yang tiba-tiba sudah ada di depanku.
Aku hanya melihatnya sejenak lalu kembali memejamkan mata sambil menarik-narik rambut berharap dapat menghilangkan sedikit rasa sakitku. Tubuh sudah basah kuyup oleh keringat.
"Ya Allah Ibu, sakit sekali ya?" Bi Asih ikut memijit pelan kepalaku.
"Sayang, diminum dulu obatnya." Mas Singgih menyodorkan segelas air dan obat di tangannya.
Hingga sepuluh menit berlalu, obat yang kuminum belum juga meredakan sakit kepala. Aku masih berbaring di sofa ruang tamu dengan posisi kepala berada di pangkuan Mas Singgih.
"Gimana, Sayang? Apa kita ke dokter?" tanya Mas Singgih sambil mengusap kepalaku lembut.
"Gak usah, Mas, aku harus ke kantor."
"Kamu istirahat aja di rumah. Kalo kamu gak keberatan biar Mas yang ke kantor ketemu Pak Wisnu."
"Mas bisa?" tanyaku ragu.
"Kan ada Pak Wisnu, Dek."
"Ah ... ya."
"Mas anter ke kamar?"
Aku mengangguk, perlahan beranjak lalu melangkah dengan dipapah Mas Singgih. Sampai di kamar aku langsung merebahkan diri di ranjang.
"Mas tinggal gak apa-apa?"
"Gak apa-apa, Mas. Tapi apa Mas yakin mau ke kantor ngurus proyek?"
"Iya, Sayang. Kamu 'kan pernah bilang supaya Mas bantu urus bisnis almarhum suamimu."
"Ya udah, Mas buruan berangkat, takut Pak Wisnu nungguin," pungkasku.
***
Selepas kepergian Mas Singgih aku berusaha memejamkan mata. Namun nyeri kepala tak juga sirna. Sejak tadi aku hanya berguling-guling saja di tempat tidur.
Berniat turun ke lantai bawah aku pun beranjak dari ranjang. Tapi sakit kepala membuatku kembali merebahkan diri.
Kepala makin sakit ketika aroma melati menguar di dalam kamar. Samar-samar dalam keadaan setengah sadar aku seperti melihat bayangan seorang wanita mendekatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guna-Guna Suami Kedua
RomancePernikahan kedua yang saat ini harus kujalani menjadi awal petaka untukku juga keluargaku. Aku tertipu dengan sikap manisnya, dengan pesona fisiknya. Ternyata dia yang selalu bertutur manis nan lembut, menyimpan begitu banyak angkara di hatinya. Gun...