"Mas ...!"Mas Singgih dan wanita di sebelahnya pun menoleh ke arahku. Mata Mas Singgih mendelik demi melihatku ada di depannya. Seketika tangan Mas Singgih melepas genggamannya pada wanita itu.
"D--Dek ...! Ka---"
"Siapa dia, Mas?" tanyaku sambil menunjuk dengan dagu.
"Emm ... di--a ... dia---"
"Kekasihmu?" tanyaku tanpa ekspresi.
"Bu--bukan, Dek. Dia cuma---"
"Ssttt ... sudah gak apa-apa. Mas gak perlu menjelaskan apapun." Aku mengibaskan satu tanganku santai, kemudian melangkah meninggalkan Mas Singgih bersama wanitanya.
"Dek ...!"
Langkahku terhenti saat hampir tiba di parkiran. Memutar tubuh dan menatap laki-laki yang sampai saat ini masih sah sebagai suamiku.
"Dek, ini hanya salah paham. Mas dan dia cuma teman. Tidak ada hubungan apapun," jelas Mas Singgih dengan napas terengah.
Aku tersenyum tipis sambil menghela napas pelan. "Dilanjut saja, Mas, acara makan siangnya. Aku harus buru-buru, masih ada urusan."
Bergegas aku masuk ke mobil lalu menyalakannya. Kulirik sekilas Mas Singgih melalui kaca spion kemudian melajukan mobil meninggalkan area parkir cafe.
Mataku memanas, bulir bening pun tak lagi bisa dicegah. Menganak sungai membasahi pipi. Aku tersedu dalam rasa yang aku sendiri tak paham. Rasanya ingin lepas dari ikatan yang membelenggu, tapi kenapa aku merasa ada sebuah ikatan lain yang tak kasat mata hingga membuatku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.
"Ibu baik-baik, saja?" tanya Adriana dengan sorot khawatir.
Aku mengangguk pelan sambil menyeka jejak basah di wajah. Namun, air mata ini tak juga mau berhenti. Akhirnya aku menepikan mobil di pinggir jalan.
"Ibu yang sabar, ya." Adriana mengusap bahuku lembut.
Aku menyandarkan tubuh sambil meraup udara sebanyak yang aku bisa.
"Saya juga heran, kenapa saya harus menangis. Untuk lelaki macam dia, saya bahkan sudah ikhlas untuk melepasnya."
"Itu manusiawi, Bu. Setiap goresan luka pasti akan membuat kita sakit dan mengeluarkan air mata. Hanya saja jangan sampai kita berlebihan meratapi sesuatu yang hilang dari genggaman."
"Kamu bener, Na, apa lagi ini bukan untuk pertama kali Mas Singgih selingkuh. Bahkan dia sudah sering dan berkali-kali melakukannya."
"Ibu bahkan hampir mengajukan gugatan cerai, 'kan melalui Pak Wildan?"
"Pak Wildan ...?!" Aku terlonjak dan menepuk dahi karena lupa ada janji dengan Pak Wildan.
Kuambil ponsel di tas lalu kubuka aplikasi pesan berwarna hijau. Ada dua panggilan tak terjawab dari Pak Wildan dan beberapa pesan yang masuk.
Merasa tak enak hati aku lalu menelpon Pak Wildan.
[Asaalamualaikum, Bu Ayesha." Pak Wildan langsung mengangkat telpon dan mengucap salam.
"Waalaikumsalam, Pak. Maaf, saya masih di jalan. Pak Wildan di mana?" sahutku.
[Saya baru sampai di butik Bu Ayesha]
"Oya, Pak. Saya segera ke butik." Aku pun langsung menutup telpon dan kembali melajukan mobil.
***
"Apa Bu Ayesha sudah mantap untuk menggugat cerai Pak Singgih?" tanya Pak Wildan saat kami berdua sudah duduk di ruang kerjaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guna-Guna Suami Kedua
RomancePernikahan kedua yang saat ini harus kujalani menjadi awal petaka untukku juga keluargaku. Aku tertipu dengan sikap manisnya, dengan pesona fisiknya. Ternyata dia yang selalu bertutur manis nan lembut, menyimpan begitu banyak angkara di hatinya. Gun...