"Apa aku salah, mengambil uang milik istriku sendiri?" tanya Mas Singgih pelan tapi tajam."Nggak, Mas, gak apa-apa," jawabku lirih.
"Jadi, gak masalah 'kan kalau besok lagi aku ambil uang di kantormu?"
"Iya, Mas, boleh."
"Nah, gitu dong." Mas Singgih kembali merebahkan diri dan menarik selimut.
Aku memutar tubuh lalu melanjutkan merias wajah. Dalam pikiranku berkecamuk banyak pertanyaan, tapi semua hanya tersimpan di dalam hati saja.
"Astagfirullahal'aziim," ucapku sambil menghela napas pelan.
Seketika hawa di kamar ini mendadak panas. Kuambil remot pendingin udara lalu kusetel di angka paling rendah. Namun hawa panas masih terasa hingga aku mulai berkeringat.
"Kenapa AC-nya di matiin, Dek, panas nih," sungut Mas Singgih sambil menyibak selimut.
"Aku gak matiin, kok."
"Apa AC-nya rusak?"
"Gak tau," jawabku sekenanya.
Bergegas kubereskan meja rias, lalu meraih tas dan kunci mobil, kemudian melangkah keluar kamar. Aneh, kenapa hawa di luar kamar tak sepanas di dalam kamar?
Sebenarnya ada banyak hal yang aku ingin bicarakan dengan Mas Singgih, termasuk soal lemparan kaca semalem. Tapi melihatnya masih bergelung dibalik selimut membuatku mengurungkan niatku.
"Dek ...!"
Aku menoleh ke arah tangga, dimana Mas Singgih masih dengan muka bantalnya tampak berjalan menghampiriku.
"Udah bangun?" tanyaku sambil menyuap pancake buatan Bi Asih.
"Panas banget di kamar, kenapa sih AC-nya?" keluhnya sambil menarik kursi lalu duduk di hadapanku.
"Mas gak ke toko?" tanyaku, mengabaikan keluhannya soal AC.
"Ntarlah, siangan." Tangannya meraih cangkir teh kemudian menyesapnya perlahan.
Entah kenapa perasaan marah dan benci kepadanya kembali muncul. Aku benar-benar dibuat heran dengan perasaan yang seringkali berubah-ubah. Kadang aku merasakan kerinduan yang begitu menggebu kepadanya.
"Kenapa menatapku seperti itu, Sayang? Apa kamu sangat merindukanku?" tanya Mas Singgih sambil mengerlingkan matanya.
"Ge-er," kilahku sambil memalingkan wajah.
Mas Singgih tergelak melihat reaksiku. Mungkin dia pikir aku benar-benar merindukannya.
"Oya, soal uang dua ratus juta itu, aku sudah ikhlasin, tapi aku gak mau terjadi lagi Mas meminta uang perusahaan pada Pak Wisnu!" tekanku sambil menatapnya tajam.
"Dek, tadi udah kita bahas di kamar, 'kan?"
"Iya, makanya aku---"
"Permisi, Bu ...."
Kalimatku terpotong dengan kedatangan Pak Burhan. Serentak kami menoleh ke arahnya.
"Pak Burhan ... gimana?" tanyaku.
"Pak Mul sudah datang, Bu."
"Oh, ya. Langsung saja suruh benerin jendelanya, Pak."
"Ya, Bu, baik," jawab Pak Burhan kemudian berbalik dan berjalan ke depan.
"Emang kenapa jendelanya, Dek?" tanya Mas Singgih sambil mengerutkan kening.
Kuceritakan semua kejadian semalam kepadanya. Kuperhatikan wajah Mas Singgih, mencoba mencari tahu dari ekspresinya jika mungkin kejadian tadi malam ada hubunganannya dengan Mas Singgih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Guna-Guna Suami Kedua
RomancePernikahan kedua yang saat ini harus kujalani menjadi awal petaka untukku juga keluargaku. Aku tertipu dengan sikap manisnya, dengan pesona fisiknya. Ternyata dia yang selalu bertutur manis nan lembut, menyimpan begitu banyak angkara di hatinya. Gun...